Tugas Akhir
Semester
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kajian Prosa
Fiksi
Yang Dibina
Oleh
Rodiah, M.Pd
DISUSUN OLEH
SRI BANIAH
2010 112 296 / 4 G
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PGRI PALEMBANG
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Kalimat itulah yang pantas penulis
lafizkan atas selesainya rangkuman Kanjian Prosa Fiksi. Betapa tidak, di
tengah-tengah semakin melilitnya tugas-tugas rutin yang seolah tidak pernah
putus dan semua tugas itu menyiksa pikiran dan waktu serta tenang, rangkuman
ini masih bisa diselsaikan.
Selain berkat hidayah Allah, susunan rangkuman ini
dapat diselesaikan berkat adanya bahan yang sangat membantu proses
pembua tannya. Namun, sebagai hasil kerja manusia dan pola kerja yang
berkejar-kejaran, tentu saja rangkuman ini memiliki banyak kekurangan. Itu pula
agaknya salah satu ciri karya manusia. Meskipun begitu, wujud rangkuman di
tengan ini merupakan bukti konkret bahwa penulis ingin berusaha melaksanakan
tugas yang optimal demi mengantarkan kita semua untuk menggapai impian.
Sebagai karya manusia yang doib di hadapan Allah
SWT, tulisan ini tentu tidak luput dari kekurangan. Karena itu, saran untuk
memperbaiki rangkuman ini, sangat penulis nantikan.
Akhirnya, penulis berharap semoga rangkuman ini akan
memberikan banyak manfaat untuk kita semua
Palembang, Mei 2012
penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar – i
Daftar Isi – ii
BAB I Pendidikan Struktural dan Semiotik
– 1
A. Pendekatan
Struktural – 1
1. Semiotik
dan Munculnya Relasi Oposisi Biner – 2
2. Perluasan
Teori Struktural oleh Levi Stauss – 2
3. Kritik
Pada Teori Struktural – 4
4. Fungsionalisme
Struktural – 5
B. Pengertian
dan Kajian Semiotik – 5
1. Macam-macam
Semiotik – 6
BAB II Pendidikan Sosiologis dan
Intelektual – 7
A. Pendidikan
Sosiologis – 7
1. Pendidikan
Sosiologi – 8
2. Metode-metode
dalam Sosiologis – 10
B. Pendidikan
Intelektual – 10
BAB III Pendidikan Interinsik dan
Ekstrinsik – 13
A. Pendidikan
Interinsik dan Ekstrinsik – 13
B. Unsur-unsur
Ekstrinsik – 14
BAB IV Pendidikan Didaktis – 14
A. Pengertian
Didaktis – 14
B. Aspek-aspek
Didaktis – 17
BAB V Tema dan Plot
A. Pengertian
Tema – 18
B. Alur
dan Plot – 20
BAB VI Penokohan dan Latar
A. Penokohan
– 22
B. Latar
atau Setting – 24
C. Latar
Fisik dan Spiritual – 25
D. Penekanan
Unsur Latar – 25
BAB VII Sudut Pandang dan Amanat – 26
A. Sudut
Pandang – 26
B. Sudut
Pandang (point of view) – 30
C. Amanat
– 32
BAB VIII Gaya Bahasa dan Nilai-nilai –
33
A. Gaya
Bahasa- 33
B. Cirri-ciri
Gaya Bahasa – 33
C. Jenis-jenis
Gaya Bahasa – 34
D. Pengertian
Moral – 36
BAB I
PENDIDIKAN STRUKTURAL
DAN SEMIOTIK
A.
Pendekatan
Struktural
Teori
struktural
atau biasa disebut saja dengan strukturalisme,
adalah sebuah aliran pemikiran yang berpengaruh dalam khazanah pemikiran Barat.
Dekade 60an dianggap sebagai masa pergolakan intelektual dengan pesatnya
perkembangan teori strukturalisme. Bersamaan dengan beberapa teori lain seperti
eksistensialisme, dan madzhab kritis (aliran Frankfurt). Pada masa ini pula
nama Herbert Marcuse (salah satu
tokoh madzhab frankfurt) menjadi semacam ikon pergerakan intelektual yang
sedang naik daun saat itu. Tokoh inilah yang nantinya mengembangkan sayap teori
struktural melalui pendekatan fungsionalisme struktural.
Strukturalisme adalah bagian dari disiplin
ilmu-ilmu sosial, yang perkembangnnya diawali di Perancis melalui tokoh Ferdinand de Saussure. Saussure adalah
ahli filsafat kebahasaan berkebangsaan Swiss (1857-1913). Pada pengantar ini
teori struktural akan sedikit banyak memberikan gambaran pada strukturalisme
linguistik dan sosiologis antropologis.
Saussure memahami bahwa bahasa
mempunyai struktur dan peraturan-peraturannya yang sistematik (Charles E
Bressler, 1999:89). Teori inilah yang mampu mengimbangi pemikiran Marxisme yang
sedang menjadi trend pemikiran di Perancis pada saat itu. Istilah
strukturalisme sendiri diperkenalkan pertamakali oleh Roman Jakobson seorang
ahli linguistik Russia. Kajian kebahasaan sebelum Saussure, hanyalah berkutat
pada kondisi linguistik semata, yakni pada bentuk aturan kebahasaan yang
disepakati, seperti grammar, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan sebagainya.
Saussure menyebutkan bahwa dalam
bahasa terdiri dari sekumpulan tanda-tanda. Tanda bahasa mempunyai hubungan
dengan tanda yang lain. Hubungan antar tanda tersebut adalah relasi
keberbedaan, yakni hubungan saling membeda antar tanda, dan karena inilah
setiap tanda dapat dipahami. Hubungan keberbedaan ini kemudian dikenal dengan
istilah oposisi biner (binary
opposition).
1
1.
Semiotika dan Munculnya Relasi
Oposisi Biner
Semiotika sendiri secara etimologi berasal
dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang artinya adalah “tanda”. Berdasarkan
pendapatnya mengenai oposisi biner, Saussure mengembangkan semiotika ke dalam
beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah
kemudian lahir strukturalisme. Pertama, dalam pendapat Saussure, sebuah tanda
khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau
berdwimuka, terdiri dari unsur “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified).
Kedua, elemen tanda-tanda itu menyatu dan saling tergantung satu sama lain.
Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan “tanda” (sign).
Penanda adalah aspek fisik dari tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek
mental dari tanda bahasa.
Relasi
antara penanda dengan petanda terjadi begitu saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu
mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kata apa yang dimaknakan oleh
tanda-tanda. Kode (code) adalah satu sistem dari konvensi-konvensi yang
memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena
hubungan (Berger, 2000 : 219 ). Kedua adalah langue dan parole. Langue
dimaksudkan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang
menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan
individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh
Saussure dengan pendekatan linguistik yang lain, di mana pendekatan linguistik
yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182).
2.
Perluasan Teori Struktural Oleh
Levi Strauss
Teori Struktural menjadi semakin kuat setelah Levi Strauss mengembangkannya ke ranah
yang lebih luas. Sebagai seorang antropolog, pandangannya pada konsep-konsep
linguistik banyak dipengaruhi oleh antropologi. Kita dapat melihatnya pada
konsep oposisi biner. Oposisi biner yang oleh Saussure hanya berkutat pada
sistem keberbedaan tanda dengan tanda lainnya, menjadi lebih luas di tangan
Levi Strauss. Oposisi biner adalah the essence of sense making, yaitu
struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat
kita hidup.
2
Strauss memandang bahwa cara pandang
seseorang di dihasilkan dari proses kategorisasi. Sebuah kategori tidak dapat
eksis tanpa berhubungan dengan kategori yang lain (tanpa adanya relasi dengan
kategri lain). Sebagai contoh sederhana, kita berpandangan seseorang itu waras,
karena berbanding dengan kategori yang lain, yakni kegilaan. Kita mengetahui
sesuatu itu baik karena berbanding dengan ategori buruk, dan begitulah
seterusnya. Terbentuknya struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi
dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan
sebagai relations of relations atau system of relation (sistim
relasi).
John Fiske (1994) memberikan
ilustrasi mengenai hal ini: konsep oposisi biner angin badai dan angin
tenang (kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner alam
yang kejam dan alam yang tenang (abstrak). Proses transisi metafor dari
sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret ini dinamakan Strauss sebagai the
logic of concrete.
a.
Masalah Ambigu (Anomali) dalam
Teori Struktural
Sebagaimana konsepsi oposisi biner dalam teori struktural,
bahwa oposisi biner saling berhubungan antar satu dengan yang lain, oposisi
biner juga bisa ditransformasikan dalam sistem oposisi biner yang lain.
Hubungan dan transformasi oposisi biner ini tentu selalu vis-a-vis, akan tetapi
senyatanya, dalam oposisi biner ditemukan hal-hal yang tidak bisa di kategorikan
dalam sistem struktural tersebut. Strauss menyebutnya dengan anomalous category,
sebagian yang lain menyebutnya dengan ‘kategori ambigu’. Contoh; gay (tidak
laki-laki juga tidak perempuan), remaja (tidak anak-anak juga tidak dewasa),
dst. Posisi yang berada diluar dua kategori sistem oposisi biner ini menganggu
stabilitas struktur oposisi biner.
Selain oposisi biner, yang perlu menjadi perhatian dalam
teori strukturalisme adalah masalah perubahan yang terjadi dalam sebuah
struktur. Perubahan ini disebut dengan transformasi. Transformasi adalah proses
perubahan namun tidak secara keseluruhan, ada bagian-bagian tertentu dari suatu
struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.
3
b.
Melakukan Pendekatan Menggunakan Teori
Struktural
Teori
struktural banyak digunakan untuk melakukan penelitian, untuk objek umum
seperti kelompok masyarakat atau individu. Namun yang paling signifikan adalah
penggunaannya untuk penelitian sastra. Dalam penelitian sastra, teori ini
difungsikan untuk mengurai berbagai hubungan atau relasi antar tanda yang
tertuang dalam teks sastra. Dalam melakukan kritik sastra melalui pendekatan
struktural, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan;
1. Prinsip
keseluruhan,
yakni melihat hubungan antar struktur secara keseluruhan.
2.
Prinsip hubungan
keterkaitan, yakni setiap satu stkrutur berkait dengan sturktur yang
lain. Makna teks hanya akan dapat didapatkan manakala berhubungan dengan
struktur lain.
3.
Transformasi; Makna teks dihasilkan dari adanya
perubahan-perubahan struktur yang terjadi.
4.
Regulasi diri;
Makna teks dihasilkan dari dalam teks itu sendiri beserta hubungannya dengan
teks lain, dan tidak dipengaruhi oleh pengarang.
5.
Oposisi biner; Makna dihasilkan dari tanda-tanda
yang saling beroposisi.
3.
Kritik Pada Teori Struktural
(Poststrukturalisme)
Saat ini teori struktural banyak
mendapat kritik karena dianggap ahistoris dan lebih menguatkan keujudan
struktur dalam masyarakat. Ketimpangan sosial dan ketidak kuasaan subordinan
terhadap dominan dianggap sebagai efek dari konsep struktur. Mereka yang
memberikan kritik terhadap teori struktural ini kemudian dikelompokkan sebagai post-strukturalisme,
atau yang secara tumpang tindih ada mengatakan sebagai kelompok postmodernisme.
Para tokohnya banyak yang dahulunya adalah tokoh struktural, seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jaques Derrida. Pada bagian lain, bila
memungkinkan saya akan sedikit mengulas tentang apa dan bagaimana teori
post-struktural ini.
4
4.
Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas
dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai
sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme
menafsirkan
masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen
konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum
yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini
sebagai “organ” yang bekerja demi berfungsinya seluruh “badan” secara wajar.
Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan “upaya untuk menghubungkan,
sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap
berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif.”
Aart
Van Zoest mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda dan segala
yang berhubungan dengannya. Karya sastra
dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda.
Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tertulis akan memiliki sifat
kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat
tanda menanda yang menyiaratkan makna semiotik. Dari dua tataran (level) antara
mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mistis) sebuah karya sastra
menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.
Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani
“semeion” yang berarti ’tanda’(Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau
seme,yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) (dalam Sobur,
.2004: 16). Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan
cara tanda-tanda itu bekerja.
Adapun nama lain dari semiotika adalah semiologi. Jadi sesunguhnya
kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan
salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran
pemakainya; mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika,dan
mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi.Namun yang
terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai (van
Zoest, 1993: 2).
5
Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai
sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat
diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada
sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan.
1. Macam-macam Semiotik
Ada 9 macam semiotik yang kita ketahui :
1. Semiotik Analitik
Semiotik
analitik adalah semiotik yang menganalisis sistem tanda.
2. Semiotik Deskriptif
Semiotik
deskriptif adalah semiotk yang memeperhatikan sistem tanda yang adapat kita
alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang
disaksiskan sekarang.
3. Semiotik Faunal (Zoo semiotic)
Semiotik
Faunal adalah semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan
oleh hewan
4. Semiotik Kultural
Semiotik
kultural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam
kebudayaan masyarakat tertentu.
5. Semiotik Naratif
Semiotik
Naratif adalah semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud
mitos dan cerita lisan (Folkkore)
6. Semiotik Natural
Semiotik
natural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh
alam.
7. Semiotik Normatif
Semiotik
normatif adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang di buat oleh
manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
8. Semiotik Sosial
Semiotik
sosial adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh
manusia yang berupa lambang.
6
9. Semiotik Struktural
Semiotik
struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yag
dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
BAB II
PENDIDIKAN SOSIOLOGIS DAN
INTELEKTUAL
A.
Pendidikan Sosiologis
Berikut
ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli:
1. Emile
Durkheim
Sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak,
berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut
memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
2. Selo
Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan
yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan
sosial.
3. Soejono
Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang
memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan
berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
4. William
Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah
untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan
masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
5. Allan
Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu
sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana
pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
7
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
:
Kesimpulannya sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari hubungan antara individu dengan individu, individu dengan
masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat. Selain itu, Sosiologi adalah ilmu
yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola
hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum,
rasional, empiris serta bersifat umum.
1. Pendekatan
Sosiologi
Untuk menghasilkan suatu teori, maka kajian-kajian ilmiah harus
memiliki pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori sosiologi.
Ada tiga pendekatan utama sosiologi, yaitu:
a.
Pendekatan struktural-fungsional
Ini merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan
strukturalisme dan fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji
struktur kehidupan masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur
tersebut. Pendekatan ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah komponen yang
memiliki struktur pembangun di dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih
cenderung kepada kajian bahwa setiap komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi
dan peran di dalam masyarakat. Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan
lebih mengabaikan struktur, bahwa setiap komponen harus berfungsi selayaknya,
jika tidak maka akan terjadi kepincangan dalam kehidupan sosial.
Maka kombinasi antara strukturalisme dan fungsionalisme
ini memandang bahwa masyarkat tidak hanya sebagai kesatuan struktur saja atau
fungsi saja, tapi cenderung untuk mengkaji masyarakat baik dari strukturnya
maupun fungsinya dan hubungan di antara keduanya.
8
b.
Pendekatan konflik
Baik konflik nilai (the
conflict of values) ataupun konflik kepentingan (the conflict of interest). Adapun pendekatan Marxien atau
pendekatan konflik merupakan pendekatan alternatif paling menonjol saat ini
terhadap pendekatan struktural-fungsional sosial makro. Karl Marx (1818-1883)
adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan sosialis
internasional. Meskipun sebagian besar tulisannya ia tujukan untuk
mengembangkan sayap gerakan ini, tetapi banyak asumsinya yang dalam pengertian
modern diakui sebagai teori sosiologis.
Namun para pengikut sosiologi Marx menggunakan
pedoman-pedoman sosiologis dan ideologi Marx secara sangat eksplisit, sedangkan
praktek ideologis hanya secara implisit terdapat dalam tulisan-tulisan para
penganut pendekatan sturuktural-fungsional.
Sosiolagi Marx didasarkan pada dua asumsi pokok:
a.
Ia memandang kegiatan ekonomi
sebagai faktor penentu utama semua kegiatan kemasyarakatan.
b.
Ia melihat masayarakat manusia
terutama dari sudut konflik di sepanjang sejarah. Menurut Marx, motif-motif
ekonomi dalam masyarakat mendominasi semua struktur lainnya, seperti agama,
keluarga, hukum, seni, sastra, sains dan moralitas.
Ia menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia
secara sedikian rupa, sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya
ekonomi dikuasai oleh segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat
lainnya ditakdirkan untuk bekerja untuk mereka dan tetap bergantung pada
kemurahan hati segelintir penguasa.
c. Pendekatan
interaksionisme-simbolis
Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang
menggunakan interdisiplin, yakni interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang
mengkaji hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat.
9
Sedangkan pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan
sebuah perspektif mikro dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada
tahapan analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit
sekali prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat
tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana dipesankan oleh namanya,
interaksionisme-simbolis lebih sering disebut sebagai pendekatan interaksionis
saja-bertolak dari interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat
mikro ini, tidak seperti jenis lain psikologi sosial, ia diharapkan memperluas
cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan masyarakat sebagai penentu
proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang mempelajari situasi-situasi
yang bisa serasi atau bisa pula menyimpang, mempelajari situasi-situasi
transaksi-trasnsaksi politis dan ekonomis, situasi-situasi di dalam dan diluar
keluarga, situasi-situasi permainan dan pendidikan, situasi-situasi organisasi,
formal dan informal dan seterusnya. Pendekatan ini bisa dicontohkan dengan
kajian interaksi pada tingkat keluarga, yang kemudian juga mengkaji bagaimana
interaksi itu bisa berpengaruh kepada interaksi pada tingkat yang lebih tinggi
yakni interaksi masyarakat. Maka interaksi di tingkat keluarga ini akan sangat
kental mempengaruhi dan mencoraki interaksi di tingkat yang lebih tinggi.
2.
Metode-metode Dalam Sosiologis
Metode merupakan cara kerja yang digunakan untuk memudahkan kita
dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan, agar tercapai tujuan seperti
yang telah kita tentukan dan harapkan. Metode sekurang-kurangnya memiliki
beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut:
a.
Metode Kualitatif
Metode ini mengutamakan cara kerja dengan menjabarkan
data yang diperoleh. Metode ini dipakai apabila data hasil penelitian tidak
dapat diukur dengan angka atau dengan ukuran lain yang bersifat eksak.
10
b.
Metode Kuantitatif
Metode ini digunakan dalam penelitian yang analisis
datanya mengutamakan keterangan berdasarkan angka-angka. Penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan metode ini adalah survei dan eksperimen. Gejala
yang diteliti diukur dengan skala, indeks, tabel, atau formula-formula tertentu
yang cenderung menggunakan uji statistik.
Di samping
metode-metode tersebut, ada beberapa metode yang sering digunakan sosiologi
untuk menelaah masyarakat didasarkan pada jenisnya. Metode-metode tersebut
meliputi metode induktif, deduktif, fungsionalisme, empiris, dan rasionalistis.
- Metode induktif adalah metode
yang mempelajari suatu gejala khusus untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang
berlaku umum dalam lapangan yang lebih luas.
- Metode deduktif adalah metode yang
menggunakan proses yang berkebalikan dengan metode induktif, yaitu dimulai
dengan kaidah-kaidah yang dianggap berlaku umum untuk kemudian dipelajari dalam
keadaan yang bersifat khusus.
- Metode fungsionalisme adalah metode
yang bertujuan untuk meneliti fungsi lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial
dalam masyarakat. Metode ini memiliki gagasan pokok bahwa unsur-unsur yang
membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling memengaruhi
dan masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dalam masyarakat.
- Metode empiris adalah metode
yang mendasarkan diri kepada keadaan-keadaan yang dengan nyata diperoleh dari
dalam masyarakat.
- Metode rasionalistis adalah metode
yang mengutamakan penilaian dengan logika dan pikiran sehat untuk mencapai
pengertian tentang kemasyarakatan.
B.
Pendidikan Intelektual
Menurut George A. Theodorson dan Archiles G.
intelektul adalah masyarakat yang mengabdikan diri kepada pengambangan gagasan
orisinil dan terlibat dalam usaha intelektual kretif.
11
Menurut Shils, sosiolog Barat yang terkenal,
intelektual adalah orang yang terpilih dalam mesyarakat yang sering mengunakan
symbol-simbol bersifat umum dan rujukan abstrak tentang manusia dan masyarakat.
Cara
meningkatkan kemampuan intelektual:
-
Rajin membaca
-
Mengikuti diskusi
-
Meneliti
-
Menuliskan kembali
-
Membuka internet
-
Ikut seminar
-
Ikut kajian
-
Korespondensi
Program
kemampam intelektual yang sudah dilaksanakan adalah :
-
Mencari informasi dan
menambah pengetahuan dengan membuka internet
-
Menjalankan sunnah yang
diajarka Rasulullah
-
Berfikir positif serta
meningkatkan kepercayaan diri sendiri
-
Mampu mengolah dan
mengeluarkan kata-kata yang efektif dan komunikatif
-
Mengikuti diskusi,
seminar, dan acara-acara sosial lainnya
-
Lebih khusyu' dan fokus
ketika beribadah dan mengerjakan apapun
·
Pendidikan Interinsik
Unsur-unsur intrinsik
dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat
ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Untuk karya sastra dalam
bentuk prosa, seperi roman, novel, dan cerpen, unsur-unsur intrinsiknya ada
tujuh: 1) tema, 2) amanat, 3) tokoh, 4) alur (plot), 5) latar (setting), 6)
sudut pandang, dan 7) gaya bahasa.
12
BAB III
PENDIDIKAN INTERINSIK DAN EKSTRINSIK
A.
Pendidikan Interinsik dan Ekstrinsik
Unsur
intrinsik (intrinsic) adalah
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara
faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra (Nurgiyantoro, 2010:23).
Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut
serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang
membuat novel terwujud.
Unsur
ekstrinsik adalah (extrinsic) adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat
dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya
sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Wellek &
Warren (1956), walau membicarakan unsur ekstrinsik tersebut cukup panjang, tampaknya
memandang unsur itu sebagai sesuatu yang agak negatif, kurang penting.
Pemahaman unsur ektrinsik suatu karya, bagaimanapun, akan membantu dalam hal
pemahaman makna karya itu mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi
kekosongan budaya.
1.
Unsur-unsur Intrinsik
a.
Tema
b.
Amanat
c.
Tokoh
d.
Alur
(Plot)
e.
Sudut
pandang (point of view)
f.
Gaya Bahasa
13
B.
Unsur-unsur Ekstrinsik
Sebagaimana
halnya unsur instrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur.
Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1956: 75-135) antara lain
adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan,
dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang
ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak
karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik
yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi
pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan
pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap
karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik
yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain,
dan sebagainya.
BAB IV
PENDIDIKAN DIDAKTIS
A.
Pengertian Didaktis
Didaktis bersifat
mendidik. “Mendidik itu sendiri adalah suatu kegiatan yang memberi tuntunan
mengenai tingkah laku kesopanan dan kecerdasan dalam berpikir” (KBBI,
2007:262-263) jadi nilai didaktis adalah suatu nilai yang berupa sifat atau hal
yang penting dan berguna bagi kemanusiaan dan digunakan untuk mendidik dan
memberikan tuntunan mengenai tingkah laku kesopanan dan kecerdasan dalam
berpikir.
Sedangkan menurut
Suprapto dalam Herlina (1993:177) menyatakan “nilai didaktis adalah nilai yang
berkaitan dengan perubahan sikap dan tingkah laku ke arah yang lebih baik,
misalnya saja orang yang tadinya jahat bisa berubah menjadi lebih baik setelah
mengetahui norma-norma dalam kehidupan”.
Mengapa ada pendekatan didaktis ? pertanyaan itu
mungkin muncul dalam hati anda, bukan ! pendekatan itu ada karena mutu karya
sastra antara lain ditentukan oleh ada tidaknya nilai kemanfaatan didaktis yang
terkandung didalamnya. Semakin banyak mengandung nilai kemanfatan
didaktis-humanistik semakin tinggi pula mutu karya sastra itu.
14
Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang
berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap
pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini
akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis
sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah
pembaca.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan didaktis menuntut
daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari
pembacanya. Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam
tingkatan pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkatan
kematangannya akan terasa lebih mengasyikkan. Hal ini terjadi karena pembaca
umumnya berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca.
Penggunaan pendekatan ini diawali dengan upaya pemahaman satuan-satuan pokok
pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada
dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan
ekspresif, komentar, dialog, lakuan maupun deskripsi peristiwa dari pengarang
atau penyairnya.
Pendekatan
didaktis ini pada dasarnya juga merupakan suatu pendekatan yang telah beranjak
jauh dari pesan tersuarat yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah
penerapan pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya
kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dri pembacanya.
Bagi
pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan
bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kematangannya akan terasa
lebih banyak mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca umumnya berusaha
mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Akan tetapi pada sisi
lain sikap itu juga berkontras dengan sikap tidak senangnya jika harus menerima
pesan, petuah atau nasihat dari orang lain yang bernada menggurui. Sebab itulah
dengan menemukan nilai-nilai kehidupan lewat daya pikir kritisnya sendiri,
nilai yang didapat akan lebih mengendap pada aspek kejiwaannya serta lebih
menikmatkan batinnya.
Dalam
pelaksanaannya, penggunaan pendekatan didaktis ini diawali dengan upaya
pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Satuan pokok pikiran pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang,
baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi
peristiwa dari pengarang atau penyairnya.
15
Dalam
penerapan pendekatan didaktis ini, sebagai sebagai pembimbing kegiatan
berfikirnya, pembaca dapat berangkat dari pola berfikir, misalnya jika malin
kundang itu akhirnya mati karena durhaka kepada ibunya, maka dalam hidupnya,
manusia itu harus bersifat baik kepada orang tua. Contoh dari penerapan
pendekatan didaktis dalam kegiatan mengapresiasi puisi misalnya kita membaca
puisi Goenawand Hammad berjudul “ Tahun pun Turun Membuka Sayapnya, yang bait
pertamanya penulis kutipkan sebagai berikut :
Tahun pun turun membuka sayapnya
Ke luas jauh benua-benua
Dan laut membias : warna biru langit
semesta
Dan zaman menderas : manusia tetap setia
Misalnya
dari puisi diatas kita dapat menentukan satuan-satuan pokok pikiran yang
meliputi :
1) Waktu
itu senantiasa terus berjalan dan berganti,
2) Kehidupan
yang indah ini senantiasa membukakan diri bagi manusia untuk menghayatinya, dan
3) Meskipun
zaman berjalan terus dengan cepat, manusia juga tetap setia mengisi
kehidupannya.
Dari tiga pokok pikiran itu, lebih lanjut pembaca
dapat menampilkan berbagai macam nilai kehidupan yang disimpulkan daripadanya.
Misalnya,
1) Karena
waktu senantiasa berjalan dan berganti, maka manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya
untuk mengembangkan diri,
2) Kehidupan
itu begitu luas dan indah, sebab itu janganlah mudah berputus asa ataupun mudah
merasa puas karena perjuangan hidup itu dengan adanya keluasan kehidupan itu
sendiri tidak akan pernah selesai dan
3) Hayatilah
kehidupan ini dengan sabar dan tabah untuk senantiasa berjuang mencapai tujuan.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa penemuan
nilai-nilai didaktis dalam cipta sastra itu bersifat interpretative. Hal itu
tidak selamanya demikian karena niali-nilai itu dapat saja tampil secara
eksplisit sehingga pembaca tidak perlu berpayah-payah menafsirkannya
16.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan itu umumnya
digunakan secara enklitik, yakni pendekatan yang satu mungkin saja digunakan
secara bersamaan dengan pendekatan lain. Tujuan penerapan pendekatan secara
enklitik itu adalah :
1) Agar
pembaca tidak merasa bosan,
2) Apresiasi
yang hanya menekankan pada satu pendekatan saja akan memberikan informasi yang
tidak lengkap atau bahkan salah. Misalnya, sewaktu mengapresiasi puisi diatas,
karena pembaca hanya menelaah lewat pendekatan emotif, sewaktu mereka ditanya
bagaimana isi puisi Goenawan itu mungkin merek akan menjawab, “oh, isinya
sangat indah!” Goenawan berbicara tentang warna laut yang begitu cemerlang di
bawah naungan langit biru, dan
3) Penerapan
pendekatan secara enklitik sesuai dengan kompleksitas aspek maupun keragaman
karakteristik cipta sastra itu sendiri.
b.
Aspek-aspek
Didaktis
Menurut Sugeng (2011) aspek-aspek didaktis yang
terdapat pada karya sastra prosa fiksi meliputi :
a.
Aspek
Religius
Aspek pendidikan yang bersifat religi sehingga pembaca bisa
memetik hikmah dari fenomena, perilaku, sikap, pandangan dan watak dari tokoh
utama termasuk hubungannya dengan tokoh-tokoh lainnya.
b.
Aspek Moral
Aspek moral disini merupakan aspek yang berkaitan dengan
sikap, akhlak, budi pekerti, susila, yang dapat ditarik dari suatu cerita.
c.
Aspek
Sosial
Aspek dimana berkenaan dengan masyarakat atau memperhatikan
kepentingan umum.
Untuk dapat mengetahui dan memahami
aspek-aspek didaktis dalam sebuah prosa fiksi, maka dalam penelitian ini kita
harus menganalisis lebih dahulu unsur intrinsik yang meliputi tema, tokoh,
penokohan, latar dan amanat.
17
BAB V
TEMA DAN
PLOT
A.
Pengertian
Tema
Tema sering disebut juga dasar cerita; yakni pokok
permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Ia terasa mewarnai karya
sastra tersebut dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Hakikatnya tema
adalah permasalahan yang meruapakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita
atau karya sastra tersebut, sekaligus merupakan permasalahan yang ingin
dipecahkan pengarang dengan karyanya itu.
Brooks dan Warren mengatakan bahwa “tema adalah
dasar atau makna suatu cerita atau novel “(1959 : 688). Sementara Brooks,
Purser, dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa “tema ialah pandangan hidup
tertentu atau perasaan tentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai
tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dar penyusunan
karya sastra”.Brooks [et al], 1952 : 820)
Tema suatu karya sastra dapat tersurat dan dapat
pula tersirat.menurut jenisnya, tema dapat dibedakan atas dua macam, yaitu tema
mayor dan tema minor, tema mayor ialah tema pokok; yakni permasalahan yang
paling dominan menjiwai suatu karya sastra. Sedangkan tema minor yang sering
juga disebut tema bawahan ialah permasalahan yang merupakan cabang dari tema
mayor. Wujudnya dapat berupa akibat lebih lanjut yang ditimbulkan dari tema
mayor. Sebagai contoh dapat kita ambil misalnya buku Sitti Nurbaya. Tema mayor
novel ini ialah pertentangan antara adat Timur dan adat Barat. Sedangkan tema
minornya kawin paksa.
a. Fungsi Tema
Fungsi sebuah
tema adalah memberi masukan bagi elemen struktural lain, seperti plot, tokoh,
dan latar; fungsi dalam prosa yang terpenting adalah menjadi elemen penyatu
terakhir keseluruhan cerita. Artinya, pengarang menciptakan dan membentuk plot,
membawa tokoh menjadi hidup, baik secara sadar atau tidak, tersurat maupun
tersirat, pada dasarnya merupakan perilaku yang dituntun oleh tema yang dipilih
dan telah mengarahkanya.
18
Di samping itu, tema
juga berfungsi melayani visi. Yang dimaksud visi di sini adalah tanggapan total
pengarang terhadap pengalaman hidup dan hubunganya dengan jagat raya. Pada sisi
lain pembaca memperoleh kesempatan untuk melihat pengalaman hidup orang lain
melalui kecamata pengarang Dengan kata lain, pengarang menciptakan dunia
fiksional yang membawa kita seolah – olah kita sendiri yang sedang mengalami
kejadian itu. Ini semua dapat diperoleh melalui tema, selama kita dapat
menyatukan keseluruhan unsure prosa menjadi kesatuan yang utuh.
Syarat-syarat
memilih tema yang baik antara lain:
-
Tema menarik perhatian penulis.
Dapat membuat seorang penulis berusaha terus-menerus untuk membuat
tulisan atau karangan yang berkaitan dengan tema tersebut.
-
Tema dikenal/diketahui dengan baik.
Maksudnya pengetahuan umum yang berhubungan dengan tema tersebut
sudah dimilki oleh penulis supaya lebih mudah dalam penulisan tulisan/karangan.
-
Bahan-bahannya dapat diperoleh.
Sebuah tema yang baik harus dapat dipikirkan apakah bahannya cukup
tersedia di sekitar kita atau tidak. Bila cukup tersedia, hal ini memungkinkan
penulis untuk dapat memperolehnya kemudian mempelajari dan menguasai
sepenuhnya.
-
Tema dibatasi ruang lingkupnya.
Tema yang terlampau umum dan luas yang mungkin belum cukup
kemampuannya untuk menggarapnya akan lebih bijaksana kalau dibatasi ruang
lingkupnya.
19
B.
Alur / Plot
Alur atau Plot adalah “struktur gerak
yang terdapat dalam fiksi atau drama” (Brooks [et all], 1959 :818). Istilah
lain yang sama artinya dengan alur atau plot ini adalah Trap atau dramatic
confinct.
Dalam bukunya “sebuah pembicaraan tentang
roman ATHEIS” kita lihat Dr. Boen S. oermajati mengutip pendapat Renek Wellek
yang mengatakan bahwa Plot adalah struktur penceritaan.sedangkan hudson
mengatakan bahwa plot ialah rangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal –
hal yang diderita dan dikerjakan oleh pelaku – pelaku sepanjang roman atau
novel yang bersangkutan. Dan akhirnya oemarjati mengambil kesimpulan bahwa P l
O T adalah strukur penyusunan kejadian – kejadian dalam cerita tapi yang
disusun secara logis.
Pada prinsipnya, seperti juga bentuk –
bentuk sastra lainnya, suatu fiksi harusnya bergerak dari suatu permulaan (beginning),melalui suatu pertengahan (middle) menuju suatu akhir (ending), yang dalam dunia sastra lebih
dikenal sebagai ekposisi, komplikasi,
dan resolusi (denouncement).
Plot
atau Alur suatu cerita biasanya terdiri atas 5 bagian, yaitu :
a. Pemaparan atau pendahuluan, yakni bagian
cerita yang tempat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan yang merupakan awal
cerita.
b. Pengawatan, yakni bagian yang melukiskan
tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak.
c. Penanjakkan, yakni bagian cerita yang
melukiskan konflik-konflik seperti disebutkan di atas mulai memuncak.
d. Puncak atau klimaks, yakni bagian yang
melukiskan peristiwa mencapai puncaknya.
e. Peleraian, yakni bagian cerita tempat
pengarang memberikan pemecahan dari semua peristiwa yang telah terjadi dalam
cerita atau bagian – bagian sebelumnya.
a. Jenis- jenis Plot atau Alur
- Alur gerak
- Alur pedih
20
- Alur tragis
- Alur penghukuman
- Alur sinis
- Alur sentimental
- Alur kekaguman
- Alur kedewasaan
- Alur perbaikan
- Alur pengujian
- Alur pendidikan
- Alur pembukaan rahasia
- Alur perasaan sayang
- Alur kekecewaan
b. Unsur-unsur pembangun Plot
Seperti yang
telah disebutkan di awal, plot dibangun oleh unsur peristiwa. Namun, sebuah
peristiwa tidak begitu saja hadir. Peristiwa hadir akibat dari aktivitas
tokoh-tokoh di dalam cerita yang memiliki konflik atau pertentangan dengan
dirinya sendiri, tokoh lainnya, atau dengan lingkungan di mana tokoh itu
berada. Namun peristiwa juga bisa disebabkan oleh aktivitas alam yang
menimbulkan konflik dengan manusia. Tanpa adanya konflik, sebuah peristiwa
hanya akan menjadi narasi tak sempurna. Setiap konflik akan bergerak menuju
titik intensitas tertinggi, di mana pertentangan tak dapat lagi dihindari.
Itulah yang disebut sebagai klimaks. Dengan demikian dapat dikatakan, sebuah
plot dibangun oleh peristiwa, konflik, dan klimaks.
1. Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan
dari satu keadaan ke keadaan lainnya (Luxemburg dkk, 1992 : 150)
21
2. Konflik memilki pengertian pertarungan atau pertentangan antara dua hal yang menyebabkan terjadinya aksi dan reaksi
3. Klimaks Menurut Stanton
dalam An Introduction to Fiction klimaks adalah saat konflik telah mencapai
titik intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tak dapat
dihindari kejadiannnya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita,
peristiwa itu harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks merupakan pertemuan
antara dua hal yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana konflik itu
akan diselesaikan.
BAB VI
PENOKOHAN DAN LATAR
A. Penokohan
Peristiwa dalam karya fiksi sepertihalnya peristiwa
dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku
tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa
itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang
menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.
Sesunguhnya peristiwa itu terjadi karena perbuatan,
atau aksi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh. Sulit kita bayangkan bagaimana
peristiwa itu bisa terjadi bila tokoh tidak hadir didalamnya, bagaimana plot
itu bisa berkembang tampa kehadiran seorang tokoh atau beberapa orang tokoh.
Sehingga seringkali disebut bahwa karakter atau tokoh berfungsi sebagai motor
pengerak plot cerita. Tjahjono( hal: 138 ).
Boulton mengungkapkan
bahwa cara pengarang mengambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai
macam. Mungkin penggarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang halnya hidup di
alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan
hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang
sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi pelaku
itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti
manusia.
22
Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki
suatu peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting
dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang
memiliki peranan tidak penting karena kemunculannya hanya melengkapi, melayani,
mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh
tambahan dalam suatu cerpen, pembaca dapat menentukannya dengan jalan melihat
keseringan munculnya dalam suatu cerita. Apabila anda membaca cerpen “konyol”,
anda dapat juga mengetahui bahwa tokoh Dik dan Nug merupakan tokoh-tokoh yang
paling sering muncul dalam setiap peristiwa yang menjalin cerita pada cerpen
itu.
Selain lewat peranan dan keseringan pemunculanya,
dalam menentukan tokoh utama serta tokoh tambahan dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya. Selain
itu lewat judul cerita Anda juga dapat menentukan siapa tokoh utamanya.
Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam
kehidupan sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu.
Sehubungan dengan watak ini tentunya anda telah mengetahui apa yang disebut
dengan pelaku yang protagonis, yaitu
pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca, dan pelaku antagonis, yaitu pelaku yang tidak
disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan pembaca.
Dalam
upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya lewat:
1) Tuturan
pengarang terhadap karakteristik pelakunya
2) Gambaran
yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya
berpakaian
3) Menunjukan
bagaimana perilakunya
4) Melihat
bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri
5) Memahami
bagaimana jalan pikirannya
6) Melihat
bagaimana tokoh lain berbincang tentangnya
7) Melihat
bagaimana tokoh lain berbincang dengannya
8) Melihat
bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya
23
9) Melihat
bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya
Seorang pengarang sering kali memberikan penjelasan
kepada pembaca secara langsung tentang macam apa tokoh yang ditampilkannya itu.
Pemahaman watak seseorang juga dapat diketahui lewat apa yang dibicarakan orang
lain terhadapnya. Begitu juga dari pergaulan seseorang dengan orang yang lain
kita sering kali dapat menebak watak yang dimilikinya.
Selain terdapat pelaku utama, pelaku tambahan,
pelaku protagonis dan pelaku antogonis, juga terdapat sejumlah ragam pelaku
yang lain. Ragam pelaku yang lain selain ragam pelaku yang telah diungkapkan
itu adalah: a) Simple character, b) complex character, c) pelaku dinamis, d)
pelaku statis. Aminuddin (2009:79---83).
B.
Latar
atau Setting
Berpendapat dengan sebuah karya fiksi, pada
hakekatnya kita berhadapan dengan sebuah dunia, dunia dalam sebuah kemungkinan,
sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan.
Namun, tentu saja, hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai
pengalaman kehidupanya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu,
sebagaimana halnya kehidupan manusia didunia nyata. Dengan kata lain fiksi
sebagai sebuah dunia, disamping membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga perlu
latar.
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas
tumpuh, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan ( Abrams, 1981:175).
Stanton (1965) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot, kedalam
fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat
diimajinasikan pembaca secara factual jika membaca cerita fiksi. Atau, ketiga
hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita
adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu
perlu pijakan, di mana dan kapan.
24
C.
Latar
Fisik dan Spiritual.
Latar dalam
karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu
yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat
istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang
bersangkutan. Hal-hal yang disebut terakhir inilah yang disebut sebagai latar spiritual (spiritual setting). Jadi latar spiritual adalah nilai-nilai yang
melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik ( Kenny, 1966: 39 ).
latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa
latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas
tumpu, pijakan. Sebuah nama tempat hanya sekedar sebagai tempat terjadinya
peristiwa yang diceritakan, tak lebih dari itu. Jika disebutkan sebuah kota,
misalnya Yogyakarta, ai sebagai kota yang mungkin disertai dengan sifat umum
sebuah kota, jika disebutkan nama jalan, misalnya Malioboro, ia sekedar sebagai
jalan raya yang mugkin disertai deskripsi sifat umum sebuah jalan raya, atau
mungkin sekedar disebut saja. Latar sebuah karya yang hanya bersifat demikian
disebut sebagai latar netral (neutral setting).
Latar tipikal di
pihak lain, memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang
menyangkut unsure tempat, waktu, maupun sosial. Kehadiran latar tipikal dalam
sebuah karya fiksi, dibanding dengan latar netral, lebih meyakinkan, memberi
kesan secara lebih mendalam kepada pembaca. Ia mampu memberikan kesan dan imajinasi
secara konkret terhadap imajinasi pembaca.
D.
Penekanan
Unsur Latar
pembedaan antara latar netral dengan tipikal
sebenarnya juga berarti mempersoalkan penekanan masalah latar. Latar netral menyaran pada kurangnya penekanan
unsure latar, sebaliknya latar tipikal pada adanya penekanan unsur latar.
Membaca beberapa buah karya fiksi sering kita rasakan adanya perbedaan peranan
latar itu. Pada karya tertentu tampak latar sekedar dipergunakan sebagai tempat
pijakan berlangsung cerita saja.
25
BAB VII
SUDUT PANDANG DAN AMANAT
A.
Sudut
Pandang
Sudut pandang (point of
view) merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang
untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam
karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap
kehidupan. Namun kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut
pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Sudut pandang adalah cara memandang
tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Ada
beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk membedakan sudut pandang.
Pertanyaan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Siapa
yang berbicara kepada pembaca (pengarang dalam persona ketiga atau pertama,
salah satu pelaku dengan “aku”, atau seperti tak seorang pun)?
2. Dari
posisi mana cerita itu dikisahkan (atas, tepi, pusat, depan atau
berganti-ganti)?
3. Saluran
informasi apa yang dipergunakan narator untuk menyampaikan ceritanya kepada
pembaca (kata-kata, pikiran, atau persepsi pengarang; kata-kata, tindakan,
pikiran, perasaan, atau persepsi tokoh)?
4. Sejauh
mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya (dekat, jauh, atau
berganti-ganti)? Selain itu pembedaan sudut pandang juga dilihat dari bagaimana
kehadiran cerita itu kepada pembaca: lebih bersifat penceritaan, telling, atau
penunjukan, showing, naratif atau dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan
dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang yaitu
bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama.
a.
Sudut
pandang persona ketiga : “Dia”
Pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona ketiga gaya “Dia”, narator adalah seorang
yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka.
26
a) “Dia” mahatahu
Dalam
sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut”dia”, namun pengarang, narator
dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut.
b) “Dia” terbatas,”Dia”
sebagai pengamat
Dalam
sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam”dia”mahatahu, pengarang
melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh
tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam
jumlah yang sangat terbatas.
b.
Sudut
Pandang Persona Pertama: “Aku”
Dalam pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona pertama (first person point of view),
“aku”. Jadi:gaya “aku”, narator adalah seseorang yang ikut terlihat dalam
cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah,
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan yang
diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap
orang (tokoh) lain kepada pembaca.
a)
“Aku”
tokoh utama
Dalam sudut
pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristriwa dan tingkah laku
yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik,
hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya.
b)
“Aku”
tokoh tambahan
Dalam sudut pandang
inin tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh
tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada
pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk
mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Sudut Pandang
27
Sudut pandang (point of view)
merupakan strategi, teknik, siasat, yang secarasengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segalasesuatu yang dikemukakan dalam karya
fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap
kehidupan. Namun kesemuanya itudalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang
tokoh, lewat kacamata tokohcerita. Sudut pandang adalah cara memandang
tokoh-tokoh cerita denganmenempatkan dirinya pada posisi tertentu.
Selain itu pembedaan
sudut pandang juga dilihat dari bagaimana kehadiran ceritaitu kepada pembaca:
lebih bersifat penceritaan, telling, atau penunjukan, showing,naratif atau
dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan
berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang yaitu bentuk
personatokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama.a. Sudut pandang
persona ketiga : ”Dia”Pengisahan cerita yang menpergunakan sudut pandang
persona ketiga gaya ”Dia”,narator adalah seorang yang berada di luar cerita
yang menampilkan tokoh-tokohcerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya:
ia, dia, mereka.
Nama-namatokoh cerita,
khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dansebagai variasi
dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembacauntuk mengenali siapa
tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.Sudut pandang ”dia”dapat
dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkatkebebasan dan keterikatan
pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak, pengarang, narator
dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungandengan tokoh ”dia”,
jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyaiketerbatasan
”pengertian” terhadap tokoh ”dia” yang diceritakan itu, jadi bersifatterbatas,
hanya selaku pengamat saja.
1. ”Dia”
mahatahuDalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut ”dia”, namun
pengarang,narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh
”dia”tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient).
Iamengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan,
termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan
menceritakan apa sajadalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah
dari tokoh ”dia”yangsatu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya
”menyembunyikan” ucapandan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa
pikiran, perasaan, pandangan,dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya
ucapan dan tindakan nyata.
28
2. ”Dia”
terbatas, ”Dia” sebagai pengamatDalam sudut pandang ”dia” terbatas, seperti
halnya dalam”dia”mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat,
didengar, dialami, dipikir, dan dirasakanoleh tokoh cerita, namun terbatas
hanya pada seorang tokoh saja atau terbatasdalam jumlah yang sangat terbatas.
Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak,yang juga berupa tokoh ”dia”, namun
mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti
halnya tokoh pertama. b. Sudut Pandang Persona Pertama: ”Aku”Dalam
pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama(first person
point of view), ”aku”. Jadi: gaya ”aku”, narator adalah seseorangyang ikut
terlibat dalam cerita.
Ia adalah si ”aku”
tokoh yang berkisah,mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan
peristiwa atau tindakan,yang diketahui,dilihat, didengar,dialami dan dirasakan,
serta sikapnya terhadaporang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya
dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan
tokoh si ”aku”tersebut:
1. ”Aku”
tokoh utama dalam sudut pandang teknik ini, si ”aku” mengisahkan berbagai
peristiwa dantingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam
diri sendiri,maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si
”aku”menjadifokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar
diri si ”aku”, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika
berhubungan dengandirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih
masalah-masalah yangakan diceritakan. Dalam cerita yang demikian,si ”aku”
menjadi tokoh utama (first person central).
2. ”Aku” tokoh tambahanDalam sudut pandang ini,
tokoh ”aku” muncul bukan sebagai tokoh utama,melainkan sebagai tokoh tambahan
(first pesonal peripheral). Tokoh ”aku” hadir untuk membawakan cerita
kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yangdikisahkan itu kemudian ”dibiarkan”
untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang
dibiarkan berkisah sendiri itulah yangkemudian menjadi tokoh utama, sebab
dialah yang lebih banyak tampil,membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan
berhubungan dengan tokoh-tokohlain. Setelah cerita tokoh utama habis.
29
B.
Sudut Pandang
(point of view)
Sudut
pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan yang merupakan cara dan
atau pandanga yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada
hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih
pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
Hubungan sudut pandang dengan tokoh:
1.
Watak
tokoh dapat diketahui dari sudut pandang.
2.
Untuk
mengetahui latar belakang sosial budaya.
3.
Bisa
membuat tokoh antagonis dan protagonis.
Hubungan latar dengan
sudut pandang:
Melalui
sudut pandang kita bisa mengetahui latar atau suasana apa yang akan digunakan
oleh pengarang.
1.
Sudut
pandang orang pertama (first person point of view)
Dalam
pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’, narator
adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ‘aku’ tokoh yang
berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta
sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat
melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh
si ‘aku’ tersebut.
2.
Sudut
pandang orang pertama masih bisa dibedakan menjadi dua:
a.
‘Aku’
tokoh utama. Dalam sudut pandang teknik ini, si ‘aku’ mengisahkan berbagai
peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniyah, dalam
diri sendiri, maupun fisik, dan hubungannya dengan sesuatu yang di luar
dirinya. Si ‘aku’ menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu
yang di luar diri si ‘aku’, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya
jika berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih
masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian, si ‘aku’ menjadi
tokoh utama (first person central).
30
b.
‘Aku’
tokoh tambahan. Dalam sudut pandang ini, tokoh ‘aku’ muncul bukan sebagai tokoh
utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ‘aku’
hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang
dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai
pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang
kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan
berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah
cerita tokoh utama habis, si ‘aku’ tambahan tampil kembali, dan dialah kini
yang berkisah. Dengan demikian si ‘aku’ hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi
terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ‘aku’ pada
umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
3.
Sudut pandang orang ketiga
(third person point of view)
Dalam cerita yang menpergunakan sudut pandang orang
ketiga, ‘dia’, narator adalah seorang yang berada di luar cerita, yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia,
dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus
menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti.
Sudut pandang ‘dia’ dapat dibedakan ke dalam dua golongan
berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan
ceritanya:
‘Dia’ mahatahu. Dalam sudut pandang ini, narator dapat menceritakan
apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ‘dia’ tersebut. Narator mengetahui
segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal
tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang
melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup
waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ‘dia’ yang satu ke ‘dia’
yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan
tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi
tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.‘Dia’ terbatas
(‘dia’ sebagai pengamat).
31
C.
Amanat
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 67) amant adalah segala sesuatu yang
ingin disampaikan pengarang, yang ingin ditanakannya secara tidak langsung ke
dalam benak para penonton dramanya. Harimurti Kridalaksana (183) berpendapat
amanat merupakan keseluruhan makna konsep, makna wacana, isi konsep, makna
wacana, dan perasaan yang hendak disampaikan untuk dimengerti dan diterima
orang lain yang digagas atau ditujunya.
Amanat di dalam drama ada yang langsung tersurat, tetapi pada umumnya sengaja
disembunyikan secara tersirat oleh penulis naskah drama yang bersangkutan.
Hanya pentonton yang profesional aja yang mampu menemukan amanat implisit
tersebut.
1.
Amanah dan Pesan
Amanat atau pun pesan adalah pesan
moral atau nasehat yang disampaikan oleh pengarang melalui cerita yang
dikarangnya. Amanat / pesan dalam pengungkapannya terdiri dari:
a.
Penyampaian Langsung
Artinya,
pesan yang disampaikan, atau diajarkan kepada pembaca itu dilakukan secara
langsung. Pengarang dalam hal ini, tampak bersifat menggurui pembaca secara
langsung memberikan nasihat dan petuahnya secara komunikatif.
b.
Penyampaian Tidak langsung
Artinya,
cara ini kurang komunikatif, dimana pembaca belum tentu dapat menangkap apa
sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang. Karena kurang ada pretense pengarang
untuk langsung menggurui pembaca.
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara
implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah
laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan
dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran,
peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan
utama cerita.
32
BAB VIII
GAYA BAHASA DAN NILAI-NILAI
A. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah bahasa indah yang
digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta
membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang
lebih umum (Tarigan, 2009:4). Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu
penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau
mempengaruhi penyimak dan pembaca. Kata retorik berasal dari bahasa Yunani
rhetor yang berarti orator atau ahli pidato. Gaya bahasa adalah cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis (pemakaian bahasa). (Keraf, 1985:113). Gaya bahasa adalah
susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam
hati pengarang (Sowikromo, 2007:7).Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang digunakan penulis
untuk mengungkapkan pikiran dengan menggunakan cara yang khas. Gaya bahasa juga
dapat diartikan sebagai pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang
penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan
wacana untuk menghadapi situasi tertentu
Penggunaan bahasa tulis dengan segala
kelebihan dan kekurangannya harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh
pengarang. Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang
permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan; harus serasi dengan
teknik-teknik yang digunakan; dan harus tepat menggunakan alur, penokohan,
latar, tema dan amanat. Penggunaan gaya bahasa oleh pengarang yang langsung
jadi narrator akan memberi petunjuk suasana, waktu dan tempat ( Muhardi dan
Hasanudin ws, 2006:43-45)
B. Ciri-ciri
GayaBahasa (Sendi Gaya Bahasa)
Keraf (2010:113–115) mengungkapkan
bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut:
kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Ketiga unsur tersebut adalah sebagai
berikut:
33
1.
Kejujuran
Kejujuran
dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan
benar dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta
penggunaan kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan untuk mengundang
ketidakjujuran. Pembicara atau penulis tidak menyampaikan isi pikirannya secara
terus terang; ia seolah-olah menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian
kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat yang berbelit-belit tak menentu.
Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Sebab itu, ia harus
digunakan pula secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.
2.
Sopan-santun
Yang
dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati
penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau
pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan
kesingkatan.Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca
atau pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau
dikatakan.
3.
Menarik
Gaya bahasa
yang menarik dapat diukur melalui bebrapa komponen berikut: variasi, humor yan
sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal
(imajinasi).
C. Jenis-jenis Gaya Bahasa
Menurut Tarigan (2009:6) menyebutkan
ada sekitar enam puluh gaya bahasa yang termasuk ke dalam empat kelompok. Empat
kelompok gaya bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Gaya bahasa perbandingan,
a.
Perumpamaan
Perumpamaan
adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja
kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian
kata seperti, serupa, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, dan penaka.
34
Contoh :
Seperti air dengan minyak.
Ibarat mengejar bayangan.
b.
Metafora
Metafora
adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal benda secara singkat dan padat.
Contoh: a. Nani jinak-jinak merpati.
b. Ali mata keranjang.
c. Buku adalah jendela ilmu.
c.
Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan
yang menggambarkan benda-benda mati atau sesuatu yang tidak bernyawa memiliki
sifat kemanusiaan.
Contoh: Pepohonan
tersenyum riang.
d.
Depersonifikasi
Depersonifikasi
adalah gaya bahasa yang membedakan manusia dengan benda mati.
Contoh: a.
Andai kamu menjadi langit, maka dia menjadi tanah.
b. Kalau dikau menjadi samudera, maka daku
menjadi bahtera.
e.
Alegori
Alegori
adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang, merupakan metafora yang
diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau
gagasan-gagasan yang diperlambangkan.
Contoh: Kancil dengan buaya.
Kancil dengan harimau
f.
Antitesis
Antitesis
adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara
dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung semantik yang bertentangan.
Contoh: a
Dia bergembira-ria atas kegagalanku dalam ujian itu.
b.Gadis yang secantik si Ida diperistri
oleh si Dedi yang jelek itu.
33
2.
Gaya bahasa pertentangan,
a.
Hiperbola
Hiperbola
adalah gaya bahasa yang bersifat melebih-lebihkan suatu kenyataan.
Contoh: a.
Amarahnya tiba-tiba menggelegar di tengah suasana rapat yang tenang.
b.
Litotes
Litotes
adalah gaya bahasa yang maknanya mengecilkan fakta dengan tujuan untuk
merendahkan diri.
Contoh: a.
Mampirlah ke gubuk kami
c.
Ironi
Ironi adalah
gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok.
Contoh: - O,
kamu cepat bangun baru jam sembilan pagi sekarang ini.
d.
Satire
Satire
adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.
Contoh: a.
Cerita Kosong
b. Jemu aku dengar bicaramu.
c. Sudah 10 tahun engkau bicara.
d. Aku masih tak punya celana.
e.
Paradoks
Paradoks
adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta
yang ada.
Contoh: a.
Aku kesepian di tengah keramaian.
b. Dia
kedinginan di kota Jakarta yang panas.
f.
Sinisme
Sinisme
adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang
mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.
Contoh:
- Tidak dapat disangkal lagi bahwa Bapaklah
orangnya, sehingga keamanan dan ketentraman di daerah ini akan ludes bersamamu!
- Memang Andalah gadis tercantik di sejagat
raya ini yang mampu menundukkan segala jejaka di bawah telapak kakimu di
seantero dunia ini.
34
g.
Sarkasme
Sarkasme
adalah gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti
hati.
Contoh: a. Mulutmu
harimaumu.
b. Tingkah lakumu memalukan
kami.
c. Cara dudukmu menghina kami.
3.
Gaya bahasa pertautan,
a.
Metonimia
Metonimia
adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan
nama orang lain, barang, atau hal, sebagai penggantinya.
Contoh: a.
Terkadang pena justru lebih tajam daripada pedang.
b.
Sinekdoke
Sinekdoke
adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama
keseluruhaannya atau sebaliknya.
Contoh: -
Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan di
Tanah Air kita ini.
c.
Alusio
Alusi adalah
gaya bahasa yang menunjukkan secara tidak lngsung pada suatu tokoh atau peristiwa
yang sudah diketahui bersama.
Contoh: a.
Banyak korban berjatuhan akibat kekejaman Nazi.
d. Eponim
Eponim
adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan
sifat itu.
Contoh: - Hercules
menyatakan kekuatan.
e.
Antonomasia
Antonomasia
adalah gaya bahasa yang menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti
nama diri.
Contoh: a.
Pangeran menandatangani surat penghargaan tersebut.
b. Pendeta mengukuhkan
perkawinan anak kami di Gereja Bethel.
35
4.
Gaya bahasa perulangan.
a.
Aliterasi
Aliterasi
adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang permulaanya sama
bunyinya.
Contoh: a. Dara damba daku datang dari danau
b. Inilah
indahnya impian, insan ingat ingkar.
b.
Antanaklasis
Antanaklasis
adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna
yang berbeda.
Contoh: - Saya
selalu membawa buah tangan buat buah hati saya, kalau saya pulang
dari luar kota.
c.
Kiasmas
Kiasmas
adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inversi
antara dua kata dalam satu kalimat.
Contoh: - Yang kaya merasa dirinya miskin, sedangkan
yang miskin justru merasa
dirinya kaya.
- Sudah lazim dalam hidup ini bahwa
orang pintar mengaku bodoh, tetapi
orang bodoh merasa dirinya pintar.
d.
Tautotes
Tautotes
adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan atas sebuah kata dalam
sebuah konstruksi.
Contoh: - Kakanda
mencintai adinda, adinda mencintai kakanda, kakanda dan adinda
saling mencintai, adinda dan
kakanda menjadi satu.
D.
Pengertian Moral
1.
Unsur moral dalam Fiksi
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti
kebiasaan. Moral berasal dari
Bahasa Latin yaitu Moralitas
adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya
dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di
mata manusia lainnya.
36
Moral dalam kehidupan karya sastra biasanya
mencerminkan pandangan kehidupan pengarang yang bersangkutan, pandangannya
tentangan nilai-nilai kebenaran da hal itulah yang ingin di sampaikan pembaca.
Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang, antara lain untuk menawarkan mode
kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan
tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Moral dalam
karya sastra dapat di pandang sebagai amanat, pesan , message.
Karya fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang
berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat
manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat
unversal. Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh
manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai
moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan
yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan
pengalaman, suara hati, serta nasihat, dan lain-lain.
Menurut Immanuel Kant,
moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar
penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau
adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang
adalah hal kesetiaannya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban
karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati
manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang ada
di dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
a. Jenis dan
wujud pesan moral
Dalam sebuah
karya fiksi khususnya novel yang relatif panjang, sering terdapat lebih dari
satu pesan moral . Jenis atau wujud pesan moral yang terdapat dalam karya
sastra akan bergantung pada keyakinan, dan keinginan, pengarang yang
bersangkutan. Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah yang boleh
dikatakan, bersifat tak terbatas ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan
kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.
37
b.
Pesan Religius dan kritik sosial
Pesan moral
yang berwujud moral religius, termasuk di dalamnya bersifat keagamaan, dan
kritik sosial banyak di temukan dalam karya fiksi dan genre sastra lainnya.
c.
Pesan Religius dan keagamaan
Kehadiran
unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu
sendiri. Bahkan sastra tmbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Religius dan
keagamaan memang erta kaitannya, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu
kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Agama lebih
menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang
resmi. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam dan lebih luas
dari agama yang tampak, formal, dan
resmi ( Mangunwijaya, 1982: 11-12). Seorang religius adalah orang yang
mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang
lahiriah saja.
2.
Pesan kritik sosial
Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangun karya fiksi saja,
yang sebenarnya justru tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam karya yang baik,
walau hal itu mungkin sekali sebagai salah satu pendorong di tulisnya sebua
karya. Selain itu pesan moral pun, khusunya yang berupa kritik sosial, dapat
mempengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan.
Sastra yang mengandung pesan kritik sosial dapat juga disebut sastra kritik
biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres
dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela
kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat keluhuran kemanusiaan.
38
3.
Bentuk penyampaian pesan moral
Karya sastra
yang merupakan salah satu wujud karya seni yang mengembangkan tujuan estetik,
tentunya mempunyai kekhususan sendiri dalam hal menyampakan pesan-pesan
moralnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam
karya fiksi mungkin bersifat langsung atau sebaliknya tidak langsung.
a.
Bentuk penyampaian langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat, boleh
dikatakan, identtik dengan cara pelukisan wattak tokoh yang bersifat uraian,
penjelasan. Di lihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan
sesuatu kepada pembaca, teknik peyampaian langsung tersebut komunikatif.
Artinya, pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan.
b.
Bentuk penyampaian tidak langsung
Bentuk penyampaian pesan moral bersifat tidak
langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita. Walau betul pengarang ingin
menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta merta
dan vulgar karena ia sadar teah memilih jalur cerita. Kalau pun ada yang ingin
di pesankan dan yang sebenarnya justru
hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu hal itu hanyalah lewat siratan
saja dan terserah kepada penafsiran pembaca.
Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan pembaca
adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat. Kurang ada pretensi pengarang
untuk langsung menggurui pembaca sebab yang demikian justru tidak efektif di
samping juga meredahkan kadar literer karya yang bersangkutan.
39
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho,
Burhan.2010. Teori Pengkajian
Fiksi.Yogyakarta: Gajah Mada University.
Tarigan, Henry
Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar
Sastra. Bandung: Angkasa.
http://amirasayang.multiply.com/journal/item/1
http://alfinnitihardjo.ohlog.com/metode-metode-dalam-sosiologi.oh112671.html
http://octaaf21.blogspot.com/2009/01/tugas-uas-character-building_07.html