Senin, 08 Oktober 2012

Struktur organsasi pendidikan yang baik adalah struktur yang mampu membuat anggota pendidik menjalankan tugas mereka sesuai dengan jenis kebiasaan mendidik yang telah diterapkan oleh pendidikan sehingga visi, misi, strategi dalam mendidik pun dapat berjalan sesuai dengan rencana kependidikan yang telah ditentukan.
Fungsi struktur organisasi pendidikan sama seperti struktur pada suatu organsasi, lembaga atau instansi lainnya, struktur organisasi pendidikan juga memiliki fungsi dan peranan sangat penting bagi kemajuan dalam mendidik. Bukan sekedar wujudnya saja yang menunjukkan tingginya jabatan seseorang, melainkan ada garis tertentu yang menunjukan sistem kerja pada kependidikan tersebut.
humas di dalam organisasi pendidikan ini sanggat penting dan banyak perannya, seperti. mengatur dan mengembangkan hubungan dan komite antara pendidik dan peserta didiknya, biasanya humas sering mengadakan baksi sosial atu pun juga karyawisata, mengadakan gebyar seni disekolahan dan biasanya diikuti oleh para peserta didik dari lingkungan sekolah tersebut atau dari luar sekolah, dan humas juga bekerja untuk menyusun semua laporan yang dilakukannya baik bersifat individual atau kelompok.
jadi peran humas dalam organisasi pendidikan sanggat penting dan membantu sesama pekerja atau pendidik.





Tugas Akhir Semester
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kajian Prosa Fiksi
Yang Dibina Oleh
Rodiah, M.Pd

DISUSUN OLEH
SRI BANIAH
2010 112 296 / 4 G
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2012

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Kalimat itulah yang pantas penulis lafizkan atas selesainya rangkuman Kanjian Prosa Fiksi. Betapa tidak, di tengah-tengah semakin melilitnya tugas-tugas rutin yang seolah tidak pernah putus dan semua tugas itu menyiksa pikiran dan waktu serta tenang, rangkuman ini masih bisa diselsaikan.
Selain berkat hidayah Allah, susunan rangkuman ini dapat diselesaikan berkat adanya bahan yang sangat membantu proses pembua tannya. Namun, sebagai hasil kerja manusia dan pola kerja yang berkejar-kejaran, tentu saja rangkuman ini memiliki banyak kekurangan. Itu pula agaknya salah satu ciri karya manusia. Meskipun begitu, wujud rangkuman di tengan ini merupakan bukti konkret bahwa penulis ingin berusaha melaksanakan tugas yang optimal demi mengantarkan kita semua untuk menggapai impian.
Sebagai karya manusia yang doib di hadapan Allah SWT, tulisan ini tentu tidak luput dari kekurangan. Karena itu, saran untuk memperbaiki rangkuman ini, sangat penulis nantikan.
Akhirnya, penulis berharap semoga rangkuman ini akan memberikan banyak manfaat untuk kita semua





Palembang, Mei 2012

penulis



DAFTAR ISI

Kata Pengantar – i
Daftar Isi – ii
BAB I Pendidikan Struktural dan Semiotik – 1
A.    Pendekatan Struktural – 1
1.      Semiotik dan Munculnya Relasi Oposisi Biner – 2
2.      Perluasan Teori Struktural oleh Levi Stauss – 2
3.      Kritik Pada Teori Struktural – 4
4.      Fungsionalisme Struktural – 5

B.     Pengertian dan Kajian Semiotik – 5
1.      Macam-macam Semiotik – 6

BAB II Pendidikan Sosiologis dan Intelektual – 7
A.    Pendidikan Sosiologis – 7
1.      Pendidikan Sosiologi – 8
2.      Metode-metode dalam Sosiologis – 10

B.     Pendidikan Intelektual – 10

BAB III Pendidikan Interinsik dan Ekstrinsik – 13
A.    Pendidikan Interinsik dan Ekstrinsik – 13
B.     Unsur-unsur Ekstrinsik – 14

BAB IV Pendidikan Didaktis – 14
A.    Pengertian Didaktis – 14
B.     Aspek-aspek Didaktis – 17

BAB V Tema dan Plot

A.    Pengertian Tema – 18
B.     Alur dan Plot – 20

BAB VI Penokohan dan Latar
A.    Penokohan – 22
B.     Latar atau Setting – 24
C.     Latar Fisik dan Spiritual – 25
D.    Penekanan Unsur Latar – 25

BAB VII Sudut Pandang dan Amanat – 26
A.    Sudut Pandang – 26
B.     Sudut Pandang (point of view) – 30
C.     Amanat – 32

BAB VIII Gaya Bahasa dan Nilai-nilai – 33
A.    Gaya Bahasa- 33
B.     Cirri-ciri Gaya Bahasa – 33
C.     Jenis-jenis Gaya Bahasa – 34
D.    Pengertian Moral – 36








BAB I
PENDIDIKAN STRUKTURAL DAN SEMIOTIK
A.    Pendekatan Struktural
Teori struktural atau biasa disebut saja dengan strukturalisme, adalah sebuah aliran pemikiran yang berpengaruh dalam khazanah pemikiran Barat. Dekade 60an dianggap sebagai masa pergolakan intelektual dengan pesatnya perkembangan teori strukturalisme. Bersamaan dengan beberapa teori lain seperti eksistensialisme, dan madzhab kritis (aliran Frankfurt). Pada masa ini pula nama Herbert Marcuse (salah satu tokoh madzhab frankfurt) menjadi semacam ikon pergerakan intelektual yang sedang naik daun saat itu. Tokoh inilah yang nantinya mengembangkan sayap teori struktural melalui pendekatan fungsionalisme struktural.
Strukturalisme adalah bagian dari disiplin ilmu-ilmu sosial, yang perkembangnnya diawali di Perancis melalui tokoh Ferdinand de Saussure. Saussure adalah ahli filsafat kebahasaan berkebangsaan Swiss (1857-1913). Pada pengantar ini teori struktural akan sedikit banyak memberikan gambaran pada strukturalisme linguistik dan sosiologis antropologis.
Saussure memahami bahwa bahasa mempunyai struktur dan peraturan-peraturannya yang sistematik (Charles E Bressler, 1999:89). Teori inilah yang mampu mengimbangi pemikiran Marxisme yang sedang menjadi trend pemikiran di Perancis pada saat itu. Istilah strukturalisme sendiri diperkenalkan pertamakali oleh Roman Jakobson seorang ahli linguistik Russia. Kajian kebahasaan sebelum Saussure, hanyalah berkutat pada kondisi linguistik semata, yakni pada bentuk aturan kebahasaan yang disepakati, seperti grammar, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan sebagainya.
Saussure menyebutkan bahwa dalam bahasa terdiri dari sekumpulan tanda-tanda. Tanda bahasa mempunyai hubungan dengan tanda yang lain. Hubungan antar tanda tersebut adalah relasi keberbedaan, yakni hubungan saling membeda antar tanda, dan karena inilah setiap tanda dapat dipahami. Hubungan keberbedaan ini kemudian dikenal dengan istilah oposisi biner (binary opposition).
1
1.      Semiotika dan Munculnya Relasi Oposisi Biner
Semiotika sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang artinya adalah “tanda”. Berdasarkan pendapatnya mengenai oposisi biner, Saussure mengembangkan semiotika ke dalam beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, dalam pendapat Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified). Kedua, elemen tanda-tanda itu menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan “tanda” (sign). Penanda adalah aspek fisik dari tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa.
Relasi antara penanda dengan petanda terjadi begitu saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kata apa yang dimaknakan oleh tanda-tanda. Kode (code) adalah satu sistem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ). Kedua adalah langue dan parole. Langue dimaksudkan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistik yang lain, di mana pendekatan linguistik yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182).
2.      Perluasan Teori Struktural Oleh Levi Strauss
Teori Struktural menjadi semakin kuat setelah Levi Strauss mengembangkannya ke ranah yang lebih luas. Sebagai seorang antropolog, pandangannya pada konsep-konsep linguistik banyak dipengaruhi oleh antropologi. Kita dapat melihatnya pada konsep oposisi biner. Oposisi biner yang oleh Saussure hanya berkutat pada sistem keberbedaan tanda dengan tanda lainnya, menjadi lebih luas di tangan Levi Strauss. Oposisi biner adalah the essence of sense making, yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup.
2
Strauss memandang bahwa cara pandang seseorang di dihasilkan dari proses kategorisasi. Sebuah kategori tidak dapat eksis tanpa berhubungan dengan kategori yang lain (tanpa adanya relasi dengan kategri lain). Sebagai contoh sederhana, kita berpandangan seseorang itu waras, karena berbanding dengan kategori yang lain, yakni kegilaan. Kita mengetahui sesuatu itu baik karena berbanding dengan ategori buruk, dan begitulah seterusnya. Terbentuknya struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai relations of relations atau system of relation (sistim relasi).
John Fiske (1994) memberikan ilustrasi mengenai hal ini: konsep oposisi biner angin badai dan angin tenang (kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak). Proses transisi metafor dari sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret ini dinamakan Strauss sebagai the logic of concrete.
a.    Masalah Ambigu (Anomali) dalam Teori Struktural
Sebagaimana konsepsi oposisi biner dalam teori struktural, bahwa oposisi biner saling berhubungan antar satu dengan yang lain, oposisi biner juga bisa ditransformasikan dalam sistem oposisi biner yang lain. Hubungan dan transformasi oposisi biner ini tentu selalu vis-a-vis, akan tetapi senyatanya, dalam oposisi biner ditemukan hal-hal yang tidak bisa di kategorikan dalam sistem struktural tersebut. Strauss menyebutnya dengan anomalous category, sebagian yang lain menyebutnya dengan ‘kategori ambigu’. Contoh; gay (tidak laki-laki juga tidak perempuan), remaja (tidak anak-anak juga tidak dewasa), dst. Posisi yang berada diluar dua kategori sistem oposisi biner ini menganggu stabilitas struktur oposisi biner.
Selain oposisi biner, yang perlu menjadi perhatian dalam teori strukturalisme adalah masalah perubahan yang terjadi dalam sebuah struktur. Perubahan ini disebut dengan transformasi. Transformasi adalah proses perubahan namun tidak secara keseluruhan, ada bagian-bagian tertentu dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.



3
b.      Melakukan Pendekatan Menggunakan Teori Struktural
Teori struktural banyak digunakan untuk melakukan penelitian, untuk objek umum seperti kelompok masyarakat atau individu. Namun yang paling signifikan adalah penggunaannya untuk penelitian sastra. Dalam penelitian sastra, teori ini difungsikan untuk mengurai berbagai hubungan atau relasi antar tanda yang tertuang dalam teks sastra. Dalam melakukan kritik sastra melalui pendekatan struktural, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan;
1.      Prinsip keseluruhan, yakni melihat hubungan antar struktur secara keseluruhan.
2.      Prinsip hubungan keterkaitan, yakni setiap satu stkrutur berkait dengan sturktur yang lain. Makna teks hanya akan dapat didapatkan manakala berhubungan dengan struktur lain.
3.      Transformasi; Makna teks dihasilkan dari adanya perubahan-perubahan struktur yang terjadi.
4.      Regulasi diri; Makna teks dihasilkan dari dalam teks itu sendiri beserta hubungannya dengan teks lain, dan tidak dipengaruhi oleh pengarang.
5.      Oposisi biner; Makna dihasilkan dari tanda-tanda yang saling beroposisi.

3.      Kritik Pada Teori Struktural (Poststrukturalisme)
Saat ini teori struktural banyak mendapat kritik karena dianggap ahistoris dan lebih menguatkan keujudan struktur dalam masyarakat. Ketimpangan sosial dan ketidak kuasaan subordinan terhadap dominan dianggap sebagai efek dari konsep struktur. Mereka yang memberikan kritik terhadap teori struktural ini kemudian dikelompokkan sebagai post-strukturalisme, atau yang secara tumpang tindih ada mengatakan sebagai kelompok postmodernisme. Para tokohnya banyak yang dahulunya adalah tokoh struktural, seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jaques Derrida. Pada bagian lain, bila memungkinkan saya akan sedikit mengulas tentang apa dan bagaimana teori post-struktural ini.


4
4.      Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai “organ” yang bekerja demi berfungsinya seluruh “badan” secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan “upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif.”
Aart Van Zoest mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda dan segala yang berhubungan dengannya. Karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tertulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda menanda yang menyiaratkan makna semiotik. Dari dua tataran (level) antara mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mistis) sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.
Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti ’tanda’(Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme,yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) (dalam Sobur, .2004: 16). Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.
Adapun nama lain dari semiotika adalah semiologi. Jadi sesunguhnya kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya; mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika,dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi.Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai (van Zoest, 1993: 2).
5
Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan.
1.      Macam-macam Semiotik
Ada 9 macam semiotik yang kita ketahui :
1.       Semiotik Analitik
Semiotik analitik adalah semiotik yang menganalisis sistem tanda.
2.       Semiotik Deskriptif
Semiotik deskriptif adalah semiotk yang memeperhatikan sistem tanda yang adapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksiskan sekarang.
3.       Semiotik Faunal (Zoo semiotic)
Semiotik Faunal adalah semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan
4.       Semiotik Kultural
Semiotik kultural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.
5.       Semiotik Naratif
Semiotik Naratif adalah semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (Folkkore)
6.       Semiotik Natural
Semiotik natural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.
7.       Semiotik Normatif
Semiotik normatif adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang di buat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
8.       Semiotik Sosial
Semiotik sosial adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berupa lambang.
6
9.       Semiotik Struktural
Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yag dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

BAB II
PENDIDIKAN SOSIOLOGIS DAN INTELEKTUAL
A.    Pendidikan Sosiologis
Berikut ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli:
1.      Emile Durkheim
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
2.      Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
3.      Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
4.      William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
5.      Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
7
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Kesimpulannya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat. Selain itu, Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum.

1.      Pendekatan Sosiologi

Untuk menghasilkan suatu teori, maka kajian-kajian ilmiah harus memiliki pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori sosiologi. Ada tiga pendekatan utama sosiologi, yaitu:
a.    Pendekatan struktural-fungsional
Ini merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji struktur kehidupan masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur tersebut. Pendekatan ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah komponen yang memiliki struktur pembangun di dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih cenderung kepada kajian bahwa setiap komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat. Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan lebih mengabaikan struktur, bahwa setiap komponen harus berfungsi selayaknya, jika tidak maka akan terjadi kepincangan dalam kehidupan sosial.
Maka kombinasi antara strukturalisme dan fungsionalisme ini memandang bahwa masyarkat tidak hanya sebagai kesatuan struktur saja atau fungsi saja, tapi cenderung untuk mengkaji masyarakat baik dari strukturnya maupun fungsinya dan hubungan di antara keduanya.


8
b.    Pendekatan konflik
Baik konflik nilai (the conflict of values) ataupun konflik kepentingan (the conflict of interest). Adapun pendekatan Marxien atau pendekatan konflik merupakan pendekatan alternatif paling menonjol saat ini terhadap pendekatan struktural-fungsional sosial makro. Karl Marx (1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan sosialis internasional. Meskipun sebagian besar tulisannya ia tujukan untuk mengembangkan sayap gerakan ini, tetapi banyak asumsinya yang dalam pengertian modern diakui sebagai teori sosiologis. Namun para pengikut sosiologi Marx menggunakan pedoman-pedoman sosiologis dan ideologi Marx secara sangat eksplisit, sedangkan praktek ideologis hanya secara implisit terdapat dalam tulisan-tulisan para penganut pendekatan sturuktural-fungsional.
Sosiolagi Marx didasarkan pada dua asumsi pokok:
a.       Ia memandang kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan kemasyarakatan.
b.      Ia melihat masayarakat manusia terutama dari sudut konflik di sepanjang sejarah. Menurut Marx, motif-motif ekonomi dalam masyarakat mendominasi semua struktur lainnya, seperti agama, keluarga, hukum, seni, sastra, sains dan moralitas.
Ia menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia secara sedikian rupa, sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya ekonomi dikuasai oleh segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat lainnya ditakdirkan untuk bekerja untuk mereka dan tetap bergantung pada kemurahan hati segelintir penguasa.
c.    Pendekatan interaksionisme-simbolis
Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan interdisiplin, yakni interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat.
9
Sedangkan pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan sebuah perspektif mikro dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada tahapan analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit sekali prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana dipesankan oleh namanya, interaksionisme-simbolis lebih sering disebut sebagai pendekatan interaksionis saja-bertolak dari interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro ini, tidak seperti jenis lain psikologi sosial, ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan masyarakat sebagai penentu proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang mempelajari situasi-situasi yang bisa serasi atau bisa pula menyimpang, mempelajari situasi-situasi transaksi-trasnsaksi politis dan ekonomis, situasi-situasi di dalam dan diluar keluarga, situasi-situasi permainan dan pendidikan, situasi-situasi organisasi, formal dan informal dan seterusnya. Pendekatan ini bisa dicontohkan dengan kajian interaksi pada tingkat keluarga, yang kemudian juga mengkaji bagaimana interaksi itu bisa berpengaruh kepada interaksi pada tingkat yang lebih tinggi yakni interaksi masyarakat. Maka interaksi di tingkat keluarga ini akan sangat kental mempengaruhi dan mencoraki interaksi di tingkat yang lebih tinggi.
2.      Metode-metode Dalam Sosiologis
Metode merupakan cara kerja yang digunakan untuk memudahkan kita dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan, agar tercapai tujuan seperti yang telah kita tentukan dan harapkan. Metode sekurang-kurangnya memiliki beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut:
a.         Metode Kualitatif
Metode ini mengutamakan cara kerja dengan menjabarkan data yang diperoleh. Metode ini dipakai apabila data hasil penelitian tidak dapat diukur dengan angka atau dengan ukuran lain yang bersifat eksak.
10
b.      Metode Kuantitatif

Metode ini digunakan dalam penelitian yang analisis datanya mengutamakan keterangan berdasarkan angka-angka. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode ini adalah survei dan eksperimen. Gejala yang diteliti diukur dengan skala, indeks, tabel, atau formula-formula tertentu yang cenderung menggunakan uji statistik.

Di samping metode-metode tersebut, ada beberapa metode yang sering digunakan sosiologi untuk menelaah masyarakat didasarkan pada jenisnya. Metode-metode tersebut meliputi metode induktif, deduktif, fungsionalisme, empiris, dan rasionalistis.

-    Metode induktif adalah metode yang mempelajari suatu gejala khusus untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam lapangan yang lebih luas.

-    Metode deduktif adalah metode yang menggunakan proses yang berkebalikan dengan metode induktif, yaitu dimulai dengan kaidah-kaidah yang dianggap berlaku umum untuk kemudian dipelajari dalam keadaan yang bersifat khusus.

-    Metode fungsionalisme adalah metode yang bertujuan untuk meneliti fungsi lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode ini memiliki gagasan pokok bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling memengaruhi dan masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dalam masyarakat.

-    Metode empiris adalah metode yang mendasarkan diri kepada keadaan-keadaan yang dengan nyata diperoleh dari dalam masyarakat.

-    Metode rasionalistis adalah metode yang mengutamakan penilaian dengan logika dan pikiran sehat untuk mencapai pengertian tentang kemasyarakatan.

B.     Pendidikan Intelektual
Menurut George A. Theodorson dan Archiles G. intelektul adalah masyarakat yang mengabdikan diri kepada pengambangan gagasan orisinil dan terlibat dalam usaha intelektual kretif.
11
Menurut Shils, sosiolog Barat yang terkenal, intelektual adalah orang yang terpilih dalam mesyarakat yang sering mengunakan symbol-simbol bersifat umum dan rujukan abstrak tentang manusia dan masyarakat.
Cara meningkatkan kemampuan intelektual:
-          Rajin membaca
-          Mengikuti diskusi
-          Meneliti
-          Menuliskan kembali
-          Membuka internet
-          Ikut seminar
-          Ikut kajian
-          Korespondensi
Program kemampam intelektual yang sudah dilaksanakan adalah :
-          Mencari informasi dan menambah pengetahuan dengan membuka internet
-          Menjalankan sunnah yang diajarka Rasulullah
-          Berfikir positif serta meningkatkan kepercayaan diri sendiri
-          Mampu mengolah dan mengeluarkan kata-kata yang efektif dan komunikatif
-          Mengikuti diskusi, seminar, dan acara-acara sosial lainnya
-          Lebih khusyu' dan fokus ketika beribadah dan mengerjakan apapun

·         Pendidikan Interinsik
Unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Untuk karya sastra dalam bentuk prosa, seperi roman, novel, dan cerpen, unsur-unsur intrinsiknya ada tujuh: 1) tema, 2) amanat, 3) tokoh, 4) alur (plot), 5) latar (setting), 6) sudut pandang, dan 7) gaya bahasa.


12
BAB III
PENDIDIKAN INTERINSIK DAN EKSTRINSIK
A.    Pendidikan Interinsik dan Ekstrinsik
            Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra (Nurgiyantoro, 2010:23). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel terwujud.
            Unsur ekstrinsik adalah (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.        Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Wellek & Warren (1956), walau membicarakan unsur ekstrinsik tersebut cukup panjang, tampaknya memandang unsur itu sebagai sesuatu yang agak negatif, kurang penting. Pemahaman unsur ektrinsik suatu karya, bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya.
1.      Unsur-unsur Intrinsik
a.       Tema  
b.      Amanat
c.       Tokoh
d.      Alur (Plot)
e.       Sudut pandang (point of view)
f.       Gaya Bahasa





13
B.     Unsur-unsur Ekstrinsik
            Sebagaimana halnya unsur instrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1956: 75-135) antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.

BAB IV
PENDIDIKAN DIDAKTIS
A.    Pengertian Didaktis
Didaktis bersifat mendidik. “Mendidik itu sendiri adalah suatu kegiatan yang memberi tuntunan mengenai tingkah laku kesopanan dan kecerdasan dalam berpikir” (KBBI, 2007:262-263) jadi nilai didaktis adalah suatu nilai yang berupa sifat atau hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan dan digunakan untuk mendidik dan memberikan tuntunan mengenai tingkah laku kesopanan dan kecerdasan dalam berpikir.
Sedangkan menurut Suprapto dalam Herlina (1993:177) menyatakan “nilai didaktis adalah nilai yang berkaitan dengan perubahan sikap dan tingkah laku ke arah yang lebih baik, misalnya saja orang yang tadinya jahat bisa berubah menjadi lebih baik setelah mengetahui norma-norma dalam kehidupan”.
Mengapa ada pendekatan didaktis ? pertanyaan itu mungkin muncul dalam hati anda, bukan ! pendekatan itu ada karena mutu karya sastra antara lain ditentukan oleh ada tidaknya nilai kemanfaatan didaktis yang terkandung didalamnya. Semakin banyak mengandung nilai kemanfatan didaktis-humanistik semakin tinggi pula mutu karya sastra itu.
14
Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan didaktis menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya. Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkatan kematangannya akan terasa lebih mengasyikkan. Hal ini terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Penggunaan pendekatan ini diawali dengan upaya pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya.
Pendekatan didaktis ini pada dasarnya juga merupakan suatu pendekatan yang telah beranjak jauh dari pesan tersuarat yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah penerapan pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dri pembacanya.
Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kematangannya akan terasa lebih banyak mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Akan tetapi pada sisi lain sikap itu juga berkontras dengan sikap tidak senangnya jika harus menerima pesan, petuah atau nasihat dari orang lain yang bernada menggurui. Sebab itulah dengan menemukan nilai-nilai kehidupan lewat daya pikir kritisnya sendiri, nilai yang didapat akan lebih mengendap pada aspek kejiwaannya serta lebih menikmatkan batinnya.
Dalam pelaksanaannya, penggunaan pendekatan didaktis ini diawali dengan upaya pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya.
15
Dalam penerapan pendekatan didaktis ini, sebagai sebagai pembimbing kegiatan berfikirnya, pembaca dapat berangkat dari pola berfikir, misalnya jika malin kundang itu akhirnya mati karena durhaka kepada ibunya, maka dalam hidupnya, manusia itu harus bersifat baik kepada orang tua. Contoh dari penerapan pendekatan didaktis dalam kegiatan mengapresiasi puisi misalnya kita membaca puisi Goenawand Hammad berjudul “ Tahun pun Turun Membuka Sayapnya, yang bait pertamanya penulis kutipkan sebagai berikut :

Tahun pun turun membuka sayapnya
Ke luas jauh benua-benua
Dan laut membias : warna biru langit semesta
Dan zaman menderas : manusia tetap setia

Misalnya dari puisi diatas kita dapat menentukan satuan-satuan pokok pikiran yang meliputi :
1)      Waktu itu senantiasa terus berjalan dan berganti,
2)      Kehidupan yang indah ini senantiasa membukakan diri bagi manusia untuk menghayatinya, dan
3)      Meskipun zaman berjalan terus dengan cepat, manusia juga tetap setia mengisi kehidupannya.
Dari tiga pokok pikiran itu, lebih lanjut pembaca dapat menampilkan berbagai macam nilai kehidupan yang disimpulkan daripadanya. Misalnya,
1)      Karena waktu senantiasa berjalan dan berganti, maka manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya untuk mengembangkan diri,
2)      Kehidupan itu begitu luas dan indah, sebab itu janganlah mudah berputus asa ataupun mudah merasa puas karena perjuangan hidup itu dengan adanya keluasan kehidupan itu sendiri tidak akan pernah selesai dan
3)      Hayatilah kehidupan ini dengan sabar dan tabah untuk senantiasa berjuang mencapai tujuan.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa penemuan nilai-nilai didaktis dalam cipta sastra itu bersifat interpretative. Hal itu tidak selamanya demikian karena niali-nilai itu dapat saja tampil secara eksplisit sehingga pembaca tidak perlu berpayah-payah menafsirkannya
16.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan itu umumnya digunakan secara enklitik, yakni pendekatan yang satu mungkin saja digunakan secara bersamaan dengan pendekatan lain. Tujuan penerapan pendekatan secara enklitik itu adalah :
1)   Agar pembaca tidak merasa bosan,
2)   Apresiasi yang hanya menekankan pada satu pendekatan saja akan memberikan informasi yang tidak lengkap atau bahkan salah. Misalnya, sewaktu mengapresiasi puisi diatas, karena pembaca hanya menelaah lewat pendekatan emotif, sewaktu mereka ditanya bagaimana isi puisi Goenawan itu mungkin merek akan menjawab, “oh, isinya sangat indah!” Goenawan berbicara tentang warna laut yang begitu cemerlang di bawah naungan langit biru, dan
3)   Penerapan pendekatan secara enklitik sesuai dengan kompleksitas aspek maupun keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri.
b.   Aspek-aspek Didaktis
Menurut Sugeng (2011) aspek-aspek didaktis yang terdapat pada karya sastra prosa fiksi meliputi :
a.       Aspek Religius
Aspek pendidikan yang bersifat religi sehingga pembaca bisa memetik hikmah dari fenomena, perilaku, sikap, pandangan dan watak dari tokoh utama termasuk hubungannya dengan tokoh-tokoh lainnya.
b.      Aspek Moral
Aspek moral disini merupakan aspek yang berkaitan dengan sikap, akhlak, budi pekerti, susila, yang dapat ditarik dari suatu cerita.
c.       Aspek Sosial
Aspek dimana berkenaan dengan masyarakat atau memperhatikan kepentingan umum.
Untuk dapat mengetahui dan memahami aspek-aspek didaktis dalam sebuah prosa fiksi, maka dalam penelitian ini kita harus menganalisis lebih dahulu unsur intrinsik yang meliputi tema, tokoh, penokohan, latar dan amanat.
17
BAB V
TEMA DAN PLOT
A.  Pengertian Tema
Tema sering disebut juga dasar cerita; yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Ia terasa mewarnai karya sastra tersebut dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Hakikatnya tema adalah permasalahan yang meruapakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra tersebut, sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu.
Brooks dan Warren mengatakan bahwa “tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel “(1959 : 688). Sementara Brooks, Purser, dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa “tema ialah pandangan hidup tertentu atau perasaan tentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dar penyusunan karya sastra”.Brooks [et al], 1952 : 820)
Tema suatu karya sastra dapat tersurat dan dapat pula tersirat.menurut jenisnya, tema dapat dibedakan atas dua macam, yaitu tema mayor dan tema minor, tema mayor ialah tema pokok; yakni permasalahan yang paling dominan menjiwai suatu karya sastra. Sedangkan tema minor yang sering juga disebut tema bawahan ialah permasalahan yang merupakan cabang dari tema mayor. Wujudnya dapat berupa akibat lebih lanjut yang ditimbulkan dari tema mayor. Sebagai contoh dapat kita ambil misalnya buku Sitti Nurbaya. Tema mayor novel ini ialah pertentangan antara adat Timur dan adat Barat. Sedangkan tema minornya kawin paksa.
a.    Fungsi Tema
Fungsi sebuah tema adalah memberi masukan bagi elemen struktural lain, seperti plot, tokoh, dan latar; fungsi dalam prosa yang terpenting adalah menjadi elemen penyatu terakhir keseluruhan cerita. Artinya, pengarang menciptakan dan membentuk plot, membawa tokoh menjadi hidup, baik secara sadar atau tidak, tersurat maupun tersirat, pada dasarnya merupakan perilaku yang dituntun oleh tema yang dipilih dan telah mengarahkanya.

18
Di samping itu, tema juga berfungsi melayani visi. Yang dimaksud visi di sini adalah tanggapan total pengarang terhadap pengalaman hidup dan hubunganya dengan jagat raya. Pada sisi lain pembaca memperoleh kesempatan untuk melihat pengalaman hidup orang lain melalui kecamata pengarang Dengan kata lain, pengarang menciptakan dunia fiksional yang membawa kita seolah – olah kita sendiri yang sedang mengalami kejadian itu. Ini semua dapat diperoleh melalui tema, selama kita dapat menyatukan keseluruhan unsure prosa menjadi kesatuan yang utuh.
Syarat-syarat memilih tema yang baik antara lain:
-       Tema menarik perhatian penulis.
Dapat membuat seorang penulis berusaha terus-menerus untuk membuat tulisan atau karangan yang berkaitan dengan tema tersebut.
-        Tema dikenal/diketahui dengan baik.
Maksudnya pengetahuan umum yang berhubungan dengan tema tersebut sudah dimilki oleh penulis supaya lebih mudah dalam penulisan tulisan/karangan.
-       Bahan-bahannya dapat diperoleh.
Sebuah tema yang baik harus dapat dipikirkan apakah bahannya cukup tersedia di sekitar kita atau tidak. Bila cukup tersedia, hal ini memungkinkan penulis untuk dapat memperolehnya kemudian mempelajari dan menguasai sepenuhnya.
-       Tema dibatasi ruang lingkupnya.
Tema yang terlampau umum dan luas yang mungkin belum cukup kemampuannya untuk menggarapnya akan lebih bijaksana kalau dibatasi ruang lingkupnya.


19
B.   Alur / Plot
         Alur atau Plot adalah “struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama” (Brooks [et all], 1959 :818). Istilah lain yang sama artinya dengan alur atau plot ini adalah Trap atau dramatic confinct.
         Dalam bukunya “sebuah pembicaraan tentang roman ATHEIS” kita lihat Dr. Boen S. oermajati mengutip pendapat Renek Wellek yang mengatakan bahwa Plot adalah struktur penceritaan.sedangkan hudson mengatakan bahwa plot ialah rangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal – hal yang diderita dan dikerjakan oleh pelaku – pelaku sepanjang roman atau novel yang bersangkutan. Dan akhirnya oemarjati mengambil kesimpulan bahwa P l O T adalah strukur penyusunan kejadian – kejadian dalam cerita tapi yang disusun secara logis.
         Pada prinsipnya, seperti juga bentuk – bentuk sastra lainnya, suatu fiksi harusnya bergerak dari suatu permulaan (beginning),melalui suatu pertengahan (middle) menuju suatu akhir (ending), yang dalam dunia sastra lebih dikenal sebagai ekposisi, komplikasi, dan resolusi (denouncement).

Plot atau Alur suatu cerita biasanya terdiri atas 5 bagian, yaitu :
a.    Pemaparan atau pendahuluan, yakni bagian cerita yang tempat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan yang merupakan awal cerita.
b.   Pengawatan, yakni bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak.
c.    Penanjakkan, yakni bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik seperti disebutkan di atas mulai memuncak.
d.         Puncak atau klimaks, yakni bagian yang melukiskan peristiwa mencapai puncaknya.
e.    Peleraian, yakni bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan dari semua peristiwa yang telah terjadi dalam cerita atau bagian – bagian sebelumnya.
a.   Jenis- jenis Plot atau Alur
-  Alur gerak
-  Alur pedih
20
-  Alur tragis
-  Alur penghukuman
-  Alur sinis
-  Alur sentimental
-  Alur kekaguman
-  Alur kedewasaan
-  Alur perbaikan
-  Alur pengujian
-  Alur pendidikan
-  Alur pembukaan rahasia
-  Alur perasaan sayang
-  Alur kekecewaan

b.   Unsur-unsur pembangun Plot
         Seperti yang telah disebutkan di awal, plot dibangun oleh unsur peristiwa. Namun, sebuah peristiwa tidak begitu saja hadir. Peristiwa hadir akibat dari aktivitas tokoh-tokoh di dalam cerita yang memiliki konflik atau pertentangan dengan dirinya sendiri, tokoh lainnya, atau dengan lingkungan di mana tokoh itu berada. Namun peristiwa juga bisa disebabkan oleh aktivitas alam yang menimbulkan konflik dengan manusia. Tanpa adanya konflik, sebuah peristiwa hanya akan menjadi narasi tak sempurna. Setiap konflik akan bergerak menuju titik intensitas tertinggi, di mana pertentangan tak dapat lagi dihindari. Itulah yang disebut sebagai klimaks. Dengan demikian dapat dikatakan, sebuah plot dibangun oleh peristiwa, konflik, dan klimaks.
1.  Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan lainnya (Luxemburg dkk, 1992 : 150)
21
2.   Konflik memilki pengertian pertarungan  atau pertentangan antara dua hal  yang menyebabkan terjadinya aksi dan reaksi
3.  Klimaks Menurut Stanton dalam An Introduction to Fiction klimaks adalah saat konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari kejadiannnya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, peristiwa itu harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks merupakan pertemuan antara dua hal yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana konflik itu akan diselesaikan.

BAB VI
PENOKOHAN DAN LATAR
A.      Penokohan
Peristiwa dalam karya fiksi sepertihalnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.
Sesunguhnya peristiwa itu terjadi karena perbuatan, atau aksi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh. Sulit kita bayangkan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi bila tokoh tidak hadir didalamnya, bagaimana plot itu bisa berkembang tampa kehadiran seorang tokoh atau beberapa orang tokoh. Sehingga seringkali disebut bahwa karakter atau tokoh berfungsi sebagai motor pengerak plot cerita. Tjahjono( hal: 138 ).
Boulton mengungkapkan bahwa cara pengarang mengambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin penggarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang halnya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia.

22
Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki suatu peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena kemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan dalam suatu cerpen, pembaca dapat menentukannya dengan jalan melihat keseringan munculnya dalam suatu cerita. Apabila anda membaca cerpen “konyol”, anda dapat juga mengetahui bahwa tokoh Dik dan Nug merupakan tokoh-tokoh yang paling sering muncul dalam setiap peristiwa yang menjalin cerita pada cerpen itu.
Selain lewat peranan dan keseringan pemunculanya, dalam menentukan tokoh utama serta tokoh tambahan dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan oleh  pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya. Selain itu lewat judul cerita Anda juga dapat menentukan siapa tokoh utamanya.
Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Sehubungan dengan watak ini tentunya anda telah mengetahui apa yang disebut dengan pelaku yang protagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca, dan pelaku antagonis, yaitu pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pembaca.
Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya lewat:
1)      Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya
2)      Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian
3)      Menunjukan bagaimana perilakunya
4)      Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri
5)      Memahami bagaimana jalan pikirannya
6)      Melihat bagaimana tokoh lain berbincang tentangnya
7)      Melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya
8)      Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya
23
9)      Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya
Seorang pengarang sering kali memberikan penjelasan kepada pembaca secara langsung tentang macam apa tokoh yang ditampilkannya itu. Pemahaman watak seseorang juga dapat diketahui lewat apa yang dibicarakan orang lain terhadapnya. Begitu juga dari pergaulan seseorang dengan orang yang lain kita sering kali dapat menebak watak yang dimilikinya.
Selain terdapat pelaku utama, pelaku tambahan, pelaku protagonis dan pelaku antogonis, juga terdapat sejumlah ragam pelaku yang lain. Ragam pelaku yang lain selain ragam pelaku yang telah diungkapkan itu adalah: a) Simple character, b) complex character, c) pelaku dinamis, d) pelaku statis. Aminuddin (2009:79---83).

B.       Latar atau Setting
Berpendapat dengan sebuah karya fiksi, pada hakekatnya kita berhadapan dengan sebuah dunia, dunia dalam sebuah kemungkinan, sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun, tentu saja, hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupanya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia didunia nyata. Dengan kata lain fiksi sebagai sebuah dunia, disamping membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga perlu latar.
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpuh, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan ( Abrams, 1981:175). Stanton (1965) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot, kedalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasikan pembaca secara factual jika membaca cerita fiksi. Atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.



24
C.      Latar Fisik dan Spiritual.
 Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Hal-hal yang disebut terakhir inilah yang disebut sebagai latar spiritual (spiritual setting). Jadi latar spiritual adalah nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik ( Kenny, 1966: 39 ).
latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu, pijakan. Sebuah nama tempat hanya sekedar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tak lebih dari itu. Jika disebutkan sebuah kota, misalnya Yogyakarta, ai sebagai kota yang mungkin disertai dengan sifat umum sebuah kota, jika disebutkan nama jalan, misalnya Malioboro, ia sekedar sebagai jalan raya yang mugkin disertai deskripsi sifat umum sebuah jalan raya, atau mungkin sekedar disebut saja. Latar sebuah karya yang hanya bersifat demikian disebut sebagai latar netral (neutral setting).
Latar tipikal di pihak lain, memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsure tempat, waktu, maupun sosial. Kehadiran latar tipikal dalam sebuah karya fiksi, dibanding dengan latar netral, lebih meyakinkan, memberi kesan secara lebih mendalam kepada pembaca. Ia mampu memberikan kesan dan imajinasi secara konkret terhadap imajinasi pembaca.
D.   Penekanan Unsur Latar
pembedaan antara latar netral dengan tipikal sebenarnya juga berarti mempersoalkan penekanan masalah latar. Latar  netral menyaran pada kurangnya penekanan unsure latar, sebaliknya latar tipikal pada adanya penekanan unsur latar. Membaca beberapa buah karya fiksi sering kita rasakan adanya perbedaan peranan latar itu. Pada karya tertentu tampak latar sekedar dipergunakan sebagai tempat pijakan berlangsung cerita saja. 



25
BAB VII
SUDUT PANDANG DAN AMANAT
A.      Sudut Pandang
            Sudut pandang (point of view) merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Ada beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk membedakan sudut pandang. Pertanyaan tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Siapa yang berbicara kepada pembaca (pengarang dalam persona ketiga atau pertama, salah satu pelaku dengan “aku”, atau seperti tak seorang pun)?
2.      Dari posisi mana cerita itu dikisahkan (atas, tepi, pusat, depan atau berganti-ganti)?
3.      Saluran informasi apa yang dipergunakan narator untuk menyampaikan ceritanya kepada pembaca (kata-kata, pikiran, atau persepsi pengarang; kata-kata, tindakan, pikiran, perasaan, atau persepsi tokoh)?
4.      Sejauh mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya (dekat, jauh, atau berganti-ganti)? Selain itu pembedaan sudut pandang juga dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca: lebih bersifat penceritaan, telling, atau penunjukan, showing, naratif atau dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama.

a.        Sudut pandang persona ketiga : “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga gaya “Dia”, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka.

26
a)      “Dia” mahatahu
Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut”dia”, namun pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut.

b)      “Dia” terbatas,”Dia” sebagai pengamat
Dalam sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam”dia”mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas.

b.        Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama (first person point of view), “aku”. Jadi:gaya “aku”, narator adalah seseorang yang ikut terlihat dalam cerita. Ia adalah  si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.
a)        “Aku” tokoh utama
Dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristriwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya.

b)       “Aku” tokoh tambahan
Dalam sudut pandang inin tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita  kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Sudut Pandang

27
Sudut pandang (point of view) merupakan strategi, teknik, siasat, yang secarasengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segalasesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun kesemuanya itudalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokohcerita. Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita denganmenempatkan dirinya pada posisi tertentu.

Selain itu pembedaan sudut pandang juga dilihat dari bagaimana kehadiran ceritaitu kepada pembaca: lebih bersifat penceritaan, telling, atau penunjukan, showing,naratif atau dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang yaitu bentuk personatokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama.a. Sudut pandang persona ketiga : ”Dia”Pengisahan cerita yang menpergunakan sudut pandang persona ketiga gaya ”Dia”,narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokohcerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka.

Nama-namatokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dansebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembacauntuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.Sudut pandang ”dia”dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkatkebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak, pengarang, narator dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungandengan tokoh ”dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyaiketerbatasan ”pengertian” terhadap tokoh ”dia” yang diceritakan itu, jadi bersifatterbatas, hanya selaku pengamat saja.
1.      ”Dia” mahatahuDalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut ”dia”, namun pengarang,narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia”tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Iamengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa sajadalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yangsatu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapandan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan,dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
28
2.      ”Dia” terbatas, ”Dia” sebagai pengamatDalam sudut pandang ”dia” terbatas, seperti halnya dalam”dia”mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakanoleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatasdalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak,yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama. b. Sudut Pandang Persona Pertama: ”Aku”Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama(first person point of view), ”aku”. Jadi: gaya ”aku”, narator adalah seseorangyang ikut terlibat dalam cerita.

Ia adalah si ”aku” tokoh yang berkisah,mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan,yang diketahui,dilihat, didengar,dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadaporang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ”aku”tersebut:
1.      ”Aku” tokoh utama dalam sudut pandang teknik ini, si ”aku” mengisahkan berbagai peristiwa dantingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri,maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ”aku”menjadifokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ”aku”, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengandirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yangakan diceritakan. Dalam cerita yang demikian,si ”aku” menjadi tokoh utama (first person central).
2.       ”Aku” tokoh tambahanDalam sudut pandang ini, tokoh ”aku” muncul bukan sebagai tokoh utama,melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ”aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yangdikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yangkemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil,membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokohlain. Setelah cerita tokoh utama habis.
29
B.        Sudut Pandang  (point of view)
Sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan yang merupakan cara dan atau pandanga yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
 Hubungan sudut pandang dengan tokoh:
1.    Watak tokoh dapat diketahui dari sudut pandang.
2.    Untuk mengetahui latar belakang sosial budaya.
3.    Bisa membuat tokoh antagonis dan protagonis.
Hubungan latar dengan sudut pandang:
Melalui sudut pandang kita bisa mengetahui latar atau suasana apa yang akan digunakan oleh pengarang.
1.    Sudut pandang orang pertama (first person point of view)
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ‘aku’ tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ‘aku’ tersebut.
2.      Sudut pandang orang pertama masih bisa dibedakan menjadi dua:

a.       ‘Aku’ tokoh utama. Dalam sudut pandang teknik ini, si ‘aku’ mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniyah, dalam diri sendiri, maupun fisik, dan hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ‘aku’ menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ‘aku’, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian, si ‘aku’ menjadi tokoh utama (first person central).

30
b.      ‘Aku’ tokoh tambahan. Dalam sudut pandang ini, tokoh ‘aku’ muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ‘aku’ hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ‘aku’ tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah. Dengan demikian si ‘aku’ hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ‘aku’ pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
3.      Sudut pandang orang ketiga (third person point of view)
Dalam cerita yang menpergunakan sudut pandang orang ketiga, ‘dia’, narator adalah seorang yang berada di luar cerita, yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti.
Sudut pandang ‘dia’ dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya:
‘Dia’ mahatahu. Dalam sudut pandang ini, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ‘dia’ tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ‘dia’ yang satu ke ‘dia’ yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.‘Dia’ terbatas (‘dia’ sebagai pengamat).
                                                            

31
C.           Amanat
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 67) amant adalah segala sesuatu yang ingin disampaikan pengarang, yang ingin ditanakannya secara tidak langsung ke dalam benak para penonton dramanya. Harimurti Kridalaksana (183) berpendapat amanat merupakan keseluruhan makna konsep, makna wacana, isi konsep, makna wacana, dan perasaan yang hendak disampaikan untuk dimengerti dan diterima orang lain yang digagas atau ditujunya.
Amanat di dalam drama ada yang langsung tersurat, tetapi pada umumnya sengaja disembunyikan secara tersirat oleh penulis naskah drama yang bersangkutan. Hanya pentonton yang profesional aja yang mampu menemukan amanat implisit tersebut.
1.        Amanah dan Pesan
Amanat atau pun pesan adalah pesan moral atau nasehat yang disampaikan oleh pengarang melalui cerita yang dikarangnya. Amanat / pesan dalam pengungkapannya terdiri dari:
a.       Penyampaian Langsung
Artinya, pesan yang disampaikan, atau diajarkan kepada pembaca itu dilakukan secara langsung. Pengarang dalam hal ini, tampak bersifat menggurui pembaca secara langsung memberikan nasihat dan petuahnya secara komunikatif.
b.      Penyampaian Tidak langsung
Artinya, cara ini kurang komunikatif, dimana pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang. Karena kurang ada pretense pengarang untuk langsung menggurui pembaca.
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
32
BAB VIII
GAYA BAHASA DAN NILAI-NILAI
A.       Gaya Bahasa
         Gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Tarigan, 2009:4). Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca. Kata retorik berasal dari bahasa Yunani rhetor yang berarti orator atau ahli pidato. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakaian bahasa). (Keraf, 1985:113). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang (Sowikromo, 2007:7).Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang digunakan penulis untuk mengungkapkan pikiran dengan menggunakan cara yang khas. Gaya bahasa juga dapat diartikan sebagai pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan wacana untuk menghadapi situasi tertentu
             Penggunaan bahasa tulis dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pengarang. Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan; harus serasi dengan teknik-teknik yang digunakan; dan harus tepat menggunakan alur, penokohan, latar, tema dan amanat. Penggunaan gaya bahasa oleh pengarang yang langsung jadi narrator akan memberi petunjuk suasana, waktu dan tempat ( Muhardi dan Hasanudin ws, 2006:43-45)

B.  Ciri-ciri GayaBahasa (Sendi Gaya Bahasa)
           
            Keraf (2010:113–115) mengungkapkan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:


33
1.      Kejujuran
Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau penulis tidak menyampaikan isi pikirannya secara terus terang; ia seolah-olah menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat yang berbelit-belit tak menentu. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Sebab itu, ia harus digunakan pula secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.

2.      Sopan-santun
Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan.Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan.

3.      Menarik
Gaya bahasa yang menarik dapat diukur melalui bebrapa komponen berikut: variasi, humor yan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi).

C.    Jenis-jenis Gaya Bahasa
            Menurut Tarigan (2009:6) menyebutkan ada sekitar enam puluh gaya bahasa yang termasuk ke dalam empat kelompok. Empat kelompok gaya bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Gaya bahasa perbandingan,
a.         Perumpamaan
Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata seperti, serupa, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, dan penaka.
34
Contoh : Seperti air dengan minyak.
                Ibarat mengejar bayangan.
b.         Metafora
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal benda secara singkat dan padat.
Contoh:  a. Nani jinak-jinak merpati.
               b. Ali mata keranjang.
                                    c. Buku adalah jendela ilmu.
c.         Personifikasi
       Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau sesuatu yang tidak bernyawa memiliki sifat kemanusiaan.
Contoh: Pepohonan tersenyum riang.

d.        Depersonifikasi
Depersonifikasi adalah gaya bahasa yang membedakan manusia dengan benda mati.
Contoh: a. Andai kamu menjadi langit, maka dia menjadi tanah.
                                   b. Kalau dikau menjadi samudera, maka daku menjadi bahtera.

e.         Alegori
Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang, merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan.
Contoh: Kancil dengan buaya.
                                   Kancil dengan harimau

f.          Antitesis
Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung semantik yang bertentangan.
Contoh: a Dia bergembira-ria atas kegagalanku dalam ujian itu.
                                   b.Gadis yang secantik si Ida diperistri oleh si Dedi yang jelek itu.

33
2.      Gaya bahasa pertentangan,
a.       Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang bersifat melebih-lebihkan suatu kenyataan.
Contoh: a. Amarahnya tiba-tiba menggelegar di tengah suasana rapat yang tenang.
b.      Litotes
Litotes adalah gaya bahasa yang maknanya mengecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan diri.
Contoh: a. Mampirlah ke gubuk kami
c.       Ironi
Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok.
Contoh: - O, kamu cepat bangun baru jam sembilan pagi sekarang ini.
d.      Satire
Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.
Contoh: a. Cerita Kosong
                   b. Jemu aku dengar bicaramu.
                   c. Sudah 10 tahun engkau bicara.
                   d. Aku masih tak punya celana.
e.       Paradoks
Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh: a. Aku kesepian di tengah keramaian.
b. Dia kedinginan di kota Jakarta yang panas.
f.       Sinisme
Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.
Contoh:
-  Tidak dapat disangkal lagi bahwa Bapaklah orangnya, sehingga keamanan dan ketentraman di daerah ini akan ludes bersamamu!
-  Memang Andalah gadis tercantik di sejagat raya ini yang mampu menundukkan segala jejaka di bawah telapak kakimu di seantero dunia ini.


34
g.      Sarkasme
Sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati.
Contoh: a. Mulutmu harimaumu.
                   b. Tingkah lakumu memalukan kami.
                   c. Cara dudukmu menghina kami.

3.      Gaya bahasa pertautan,
a.       Metonimia
Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang lain, barang, atau hal, sebagai penggantinya.
Contoh: a. Terkadang pena justru lebih tajam daripada pedang.
b.      Sinekdoke
Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhaannya atau sebaliknya.
Contoh: - Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan di
       Tanah Air kita ini.
c.       Alusio
Alusi adalah gaya bahasa yang menunjukkan secara tidak lngsung pada suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui bersama.
Contoh:      a. Banyak korban berjatuhan akibat kekejaman Nazi.
d.      Eponim
Eponim adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu.
Contoh: - Hercules menyatakan kekuatan.
e.       Antonomasia
Antonomasia adalah gaya bahasa yang menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri.
Contoh: a. Pangeran menandatangani surat penghargaan tersebut.
                   b. Pendeta mengukuhkan perkawinan anak kami di Gereja Bethel.


35
4.      Gaya bahasa perulangan.
a.      Aliterasi
Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang permulaanya sama bunyinya.
Contoh:      a. Dara damba daku datang dari danau
                               b. Inilah indahnya impian, insan ingat ingkar.
b.      Antanaklasis
Antanaklasis adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda.
Contoh: - Saya selalu membawa buah tangan buat buah hati saya, kalau saya pulang
                   dari luar kota.
c.      Kiasmas
Kiasmas adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inversi antara dua kata dalam satu kalimat.
Contoh: -  Yang kaya merasa dirinya miskin, sedangkan yang miskin justru merasa
       dirinya kaya.
-  Sudah lazim dalam hidup ini bahwa orang pintar mengaku bodoh, tetapi
       orang bodoh merasa dirinya pintar.
d.     Tautotes
Tautotes adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan atas sebuah kata dalam sebuah konstruksi.
Contoh: - Kakanda mencintai adinda, adinda mencintai kakanda, kakanda dan adinda
                   saling mencintai, adinda dan kakanda menjadi satu.

D.      Pengertian Moral

1.        Unsur moral dalam Fiksi

Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari Bahasa Latin yaitu Moralitas adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya.

36
Moral dalam kehidupan karya sastra biasanya mencerminkan pandangan kehidupan pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentangan nilai-nilai kebenaran da hal itulah yang ingin di sampaikan pembaca. Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang, antara lain untuk menawarkan mode kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Moral dalam karya sastra dapat di pandang sebagai amanat, pesan , message.
Karya fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat unversal. Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, suara hati, serta nasihat, dan lain-lain.
Menurut Immanuel Kant, moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaannya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang ada di dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
a.       Jenis dan wujud pesan moral
Dalam sebuah karya fiksi khususnya novel yang relatif panjang, sering terdapat lebih dari satu pesan moral . Jenis atau wujud pesan moral yang terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, dan keinginan, pengarang yang bersangkutan. Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah yang boleh dikatakan, bersifat tak terbatas ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.


37
b.      Pesan Religius dan kritik sosial
Pesan moral yang berwujud moral religius, termasuk di dalamnya bersifat keagamaan, dan kritik sosial banyak di temukan dalam karya fiksi dan genre sastra lainnya.

c.       Pesan Religius dan keagamaan
Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra tmbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Religius dan keagamaan memang erta kaitannya, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan  resmi ( Mangunwijaya, 1982: 11-12). Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja.

2.      Pesan kritik sosial
Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangun karya fiksi saja, yang sebenarnya justru tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam karya yang baik, walau hal itu mungkin sekali sebagai salah satu pendorong di tulisnya sebua karya. Selain itu pesan moral pun, khusunya yang berupa kritik sosial, dapat mempengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan.
Sastra yang mengandung pesan kritik sosial dapat juga disebut sastra kritik biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat keluhuran kemanusiaan.


38
3.      Bentuk penyampaian pesan moral
Karya sastra yang merupakan salah satu wujud karya seni yang mengembangkan tujuan estetik, tentunya mempunyai kekhususan sendiri dalam hal menyampakan pesan-pesan moralnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau sebaliknya tidak langsung.
a.       Bentuk penyampaian langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat, boleh dikatakan, identtik dengan cara pelukisan wattak tokoh yang bersifat uraian, penjelasan. Di lihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca, teknik peyampaian langsung tersebut komunikatif. Artinya, pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan.
b.      Bentuk penyampaian tidak langsung
Bentuk penyampaian pesan moral bersifat tidak langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta merta dan vulgar karena ia sadar teah memilih jalur cerita. Kalau pun ada yang ingin di pesankan dan yang sebenarnya  justru hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca.
Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat. Kurang ada pretensi pengarang untuk langsung menggurui pembaca sebab yang demikian justru tidak efektif di samping juga meredahkan kadar literer karya yang  bersangkutan. 





39
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Burhan.2010. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gajah Mada University.
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
http://amirasayang.multiply.com/journal/item/1
http://alfinnitihardjo.ohlog.com/metode-metode-dalam-sosiologi.oh112671.html
http://octaaf21.blogspot.com/2009/01/tugas-uas-character-building_07.html